Home Artikel SCTW-F 1995, Standar Kompetensi Pelaut Kapal Ikan

SCTW-F 1995, Standar Kompetensi Pelaut Kapal Ikan

10448
2
SHARE

JMOL. STCW 1978 bukan barang asing bagi para pelaku, pemerhati dan ahli kemaritiman di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan STCW-F 1995. Standar yang pertama (STCW 1978) diperuntukan bagi ABK kapal niaga/umum, sementara standar yang kedua, yaitu STCW-F 1995, khusus untuk pelaut yang bekerja di atas kapal ikan.

STCW-F 1995 (Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) diberlakukan oleh IMO pada 29 September 2012, setelah setahun sebelumnya diratifikasi oleh 17 negara anggota, yaitu Kanada, Kongo, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Lithuania, Mauritania, Moroko, Namibia, Norwegia, Palau, Rusia, Sierra Leone, Spanyol, Syria, dan Ukraina.

Konvensi ini mengatur standar pendidikan dan pelatihan, sertifikasi awak kapal, dan tugas jaga pada kapal ikan. Diwajibkan untuk kapal dengan dimensi panjang 24 meter atau lebih. STCW-F 1995 melengkapi SFV Torremolinos 1993 yang mengatur tentang konstruksi kapal ikan. Keduanya adalah instrumen internasional untuk keselamatan operasi penangkapan ikan.

Download STCW-F 1995 di sini

Pekerjaan di kapal ikan bersifat 3d yaitu ”kotor (dirty)”, ”berbahaya”
(dangerous)” dan ”sulit (difficult)”. ILO (International Labor Organization) pada tahun 1999 menyebutkan, tak kurang dari 24 ribu nyawa pelaut kapal ikan melayang setiap tahunnya. Dimana faktor kesalahan manusia (human error) berkontribusi sebesar 42 persen.

Untuk memperkecil kecelakaan di atas, dibutuhkan pelaut kapal ikan yang memenuhi keahlian dalam keselamatan (safety), navigasi (navigation), dan pengoperasian kapal ikan (ship operation). Ini lah alaaan utama yang mendorong diberlakukannya SCTW-F 1995.

Selangkah Lagi

Walaupun Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi SCTW-F 1995 di tahun 2011, namun sebagai anggota IMO, Indonesia tetap terikat saat konvensi tersebut diperlakukan (enter into force). Di Indonesia sendiri tercatat 2,2 juta orang pelaut kapal ikan, termasuk nelayan (KKP 2011). Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding jumlah pelaut kapal niaga yang berkisar 300 ribu orang.

Yang menarik, jauh sebelum IMO mengadopsi SCTW-F 1995, Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi pengawakan kapal ikan, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 9 Tahun 2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap Ikan. Dimana keahlian para pelaut kapal ikan terbagi atas ANKAPIN (Ahli Nautika Kapal Ikan) dan ATKAPIN (Ahli Teknika Kapal Ikan).

Download Permenhub KM 9 Tahun 2005 di sini

Terkait ratifikasi SCTW-F 1995, rancangan peraturan presiden (rperpres) yang meratifikasi SCTW-F 1995 pun sudah selesai pada Juli 2015. Namun entah kenapa hingga kini belum disahkan.

Pengamat Maritim, Siswanto Rusdi menduga Indonesia belum memprioritaskan ratifikasi SCTW-F karena tidak banyak kapal ikan berdimensi panjang 24 meter yang berbendera Indonesia. KKP nampaknya lebih fokus pada nelayan domestik, yang didominasi kapal di bawah 24 meter dan hanya melaut di perairan Indonesia.

Dengan demikian, ratifikasi STCW-F 1995 lebih memberi pengaruh ke eksternal. Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M Zulficar mengatakan bahwa ratifikasi STCW-F dapat menjadi salah satu instrumen yang dapat menjamin terlindunginya hak-hak dasar bagi awak kapal ikan Indonesia, terutama yang bekerja di luar negeri. Instrumen utama perlindungan pelaut adalah Maritime Labour Convention, 2006/MLC 2006, yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2016.

Saat ini, terdapat ribuan pelaut kita yang bekerja di kapal ikan milik asing sebagai pekerja migran (TKI), misalnya di Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Namun, ketiadaan sertifikasi keahlian yang diakui secara internasional membuat daya tawar mereka rendah. Tak sedikit berita tentang TKI pelaut yang diperlakukan tidak adil, upah kerja rendah, diskriminasi, bahkan terlantar. Sesuatu yang juga tidak boleh diabaikan.

Jadi, sebenarnya kita tinggal selangkah. Tunggu apa lagi? [AQS]

2 COMMENTS

Comments are closed.