JMOL. Semenjak menjadi FTZ di tahun 2007 hingga transformasi menuju KEK di masa kini, ambisi Batam menjadi transhipment hub belumlah padam. Ambisi yang tidak berlebihan jika dilihat dari posisi Batam yang berada di Selat Singapura dan hanya berjarak 20 km dari pelabuhan singapura.
Medio tahun 2018 lalu, Pelindo 1 dan Pelindo 2 sudah sepakat untuk mengembangkan kapasitas pelabuhan Batu Ampar, melalui penambahan CY baru, hingga 1 juta TEUs. Kondisi eksisting Batu Ampar adalah, total arus kontainer berkisar 200-350 ribu TEUs per tahun. Selain itu, akan dibangun Pelabuhan Tanjung Sauh dengan kapasitas 4 juta TEUs yang terletak di antara pulau Batam dan Bintan.
Di kawasan ASEAN, saat ini terdapat tiga pelabuhan yang ‘bersaing’ memperebutkan transhipment cargo atau peti kemas transit, yaitu Pelabuhan Singapura, Pelabuhan Tanjung Pelepas, dan Port Klang. Dalam persaingan tersebut, Pelabuhan Singapura adalah pemenangnya, setidaknya sampai saat ini. Volume peti kemas transhipment Singapura mencapai 85 persen dari total peti kemas handling sebesar 30 juta TEUs (2016).
BACA JUGA: Pelabuhan Transhipment dan Prospeknya di Selat Malaka
Berambisi menjadi transhipment hub artinya Batu Ampar juga akan menangani transhipment cargo (peti kemas transit), selain gateway cargo yang saat ini berkisar 300-an ribu TEUs per tahun. Bisa merupakan peti kemas ekspor-impor Indonesia, atau negara Asean lainnya yang selama ini ditangani Pelabuhan Sìngapura, Pelabuhan Tanjung Pelepas, atau Port Klang. Artinya, Batu Ampar akan memasuki pasar perebutan peti kemas transit di Asia Tenggara.
Dengan kapasitas (nantinya) sebesar 1 juta TEUs dan arus peti kemas eksisting sekitar 300 ribu TEUs, darimana 700 ribu TEUs sisanya? Yang pertama adalah peningkatan gateway cargo sebagai akibat adanya pertumbuhan ekonomi pada hinterland, dan yang kedua adalah adanya cargo transhipment.
Yang pertama tentu ranahnya BP Batam dan Pemko Batam untuk meningkatkan investasi industri. Semakin banyak industri, semakin meningkat PDRB, maka cargo gateway semakin meningkat. Yang kedua, yaitu meraih cargo transit, menjadi tanggung jawab pengelola pelabuhan Batu Ampar.
Sedikit berilustrasi, langkah terdekat yang mungkin dapat dilakukan adalah mengubah rute peti kemas Indonesia. Peti kemas ekspor/Impor Indonesia ke Eropa dan Asia Timur mungkin dapat dikumpulkan (transit) di Batu Ampar. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Lainnya menjadi feeder bagi Batu Ampar. Bukan hal yang mudah karena berkaitan dengan pihak pelayaran. Belum lagi mempertimbangkan Kuala Tanjung (Sumut) yang juga mengincar peti kemas transit. Pemerintah sudah menetapkan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan hub internasional untuk Indonesia bagian Barat.
Seberapa greget Batam dan bagaimana dampaknya terhadap Kuala Tanjung?, akan dapat disaksikan pada tahun-tahun ke depan. [AF]