JMOL. Untuk membandingkan dan menganalisis konektivitas sebuah negara terhadap jaringan pelayaran global, sejak tahun 2004 UNCTAD mengembangkan indeks konektivitas atau Liner Shipping Connectivity Index (LSCI). Indeks LSCI dihitung berdasarkan pelayaran kontainer internasional terjadwal yang ada di sebuah negara, yang mencakup lima komponen, yaitu: jumlah kapal, kapasitas angkut, jumlah operator, jumlah layanan tersedia, dan ukuran kapal terbesar.
Semakin tinggi angka indeks LSCI sebuah negara, maka semakin kuat negara tersebut terkoneksi dengan jejaring pelayaran global. Karena lebih dari 80 persen arus perdagangan dunia melewati laut (70 persen jika dihitung dari nilai transaksi perdagangan), maka Indeks LSCI dapat menggambarkan posisi sebuah negara dalam perdagangan internasional.
Dari LSCI, UNCTAD mengembangkan Liner shipping bilateral connectivity index (LSBCI) yang mengukur tingkat konektivitas antara dua negara. Dari indeks LSBCI antar negara-negara dalam suatu kawasan, kita dapat mengetahui posisi sebuah negara terhadap negara-negara lainnya dalam kawasan yang sama.
Berdasarkan Review of Maritime Transport 2017 yang diterbitkan UNCTAD, Singapura dan Malaysia (Di kawasan Asia Tenggara) berhasil memanfaatkan posisi mereka di selat Malaka yang merupakan rute utama pelayaran kontainer Asia-Eropa. Kedua negara ini bersaing mengembangkan transhipment port untuk melayani barang-barang dari negara asia tenggara lainnya, terutama Indonesia.
Kedua negara tetangga Indonesia ini memiliki indeks LSCI yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Selanjutnya, dari Indeks LSBCI, terlihat bahwa Singapura dan Malaysia bersaing menjadi hub di kawasan Asian Tenggara. Keduanya memiliki konektivitas yang sama kuat dengan negara-negara industri besar, termasuk dengan Belanda, dimana Port of Roterdam yang merupakan pelabuhan hub Uni Eropa berada.
Pencapaian Malaysia tidak lepas dari keberanian negara tersebut merelaksasi aturan Cabotage, dan diikuti keberhasilan membujuk Maersk Line (operator pelayaran kontainer terbesar di dunia) untuk memindahkan pusat operasinya dari Singapura pada tahun 2007. Malaysia memberi berbagai kemudahan seperti mulai dari dukungan infrastruktur, fasilitas pajak, hingga memperbolehkan kapal-kapal Maersk Line beroperasi pada rute domestiknya.
Bagaimana dengan posisi Indonesia? Dari kedua indeks di atas, terlihat bahwa arus barang ekspor dan impor dari dan ke Indonesia banyak melalui Singapura atau Malaysia, karena pelabuhan-pelabuhan di Indonesia umumnya merupakan destination port atau pelabuhan tujuan akhir. Konektivitas Indonesia dengan beberapa di kawsan Asia Timur, seperti China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan,dan lain-lain dapat dilihat pada infografis.
Untuk mengambil manfaat dari posisi strategis selat Malaka, Indonesia saat ini membangun Pelabuhan Kuala Tanjung. Dengan posisinya yang berhadapan dengan Port Klang, dan didukung dengan hinterland berupa kawasan Industri, Pelabuhan Kuala Tanjung berpotensi menjadi transhipment dan destination port sekaligus. [AS]
[…] Baca: Tiga Tahun Poros Maritim Dunia, Indeks Konektivitas Maritim Indonesia Masih Stagnan […]