JMOL. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini United Nations Conference of Trade And Development (UNCTAD) kembali menerbitkan The Review of Maritime Transport 2017, yang mengkover perkembangan transportasi maritim global sejak Januari 2016 hingga Juni 2017. Redaksi mencoba menyampaikan hal-hal yang menarik dalam laporan terkini tersebut dalam tulisan berikut ini.
Pada 2016, permintaan akan angkutan laut dunia meningkat tipis. Peningkatan volume perdagangan dunia melalui laut tercatat sebesar 2,6 persen, meningkat sedikit dari 1,8 persen di tahun 2015, namun masih di bawah rata-rata pertumbuhan dalam empat dekade terakhir yang sebesar 3 persen. Dengan total volume yang mencapai 10,3 miliar ton maka terjadi penambahan lebih dari 260 juta ton kargo.
Dalam perhitungan UNCTAD, perdagangan dunia melalui laut (disebut Seaborne Trade) pada tahun 2017 akan mencapai 2,8 persen, dengan total volume 10,6 miliar ton. Proyeksi jangka menengah juga menunjukkan kecenderungan meningkatnya arus kargo. Masih menurut UNCTAD, seaborne trade akan meningkat rata-rata sebesar 3,2 persen antara kurun waktu dari 2017 hingga 2022.
Pelayaran Masih Overcapacity
Sepanjang Januari 2016 hingga Juni 2017, UNCTAD mencatat pertumbuhan armada kapal dunia mencapai 3,2 persen, turun dari 3,5 persen di tahun 2015. Kapasitas tonase armada komersial dunia mencapai 1,86 miliar dead-weight ton (dwt) di awal tahun 2017, yang setara dengan nilai US$ 829 miliar.
Kapal jenis LNG Carrier tercatat mengalami pertumbuhan tertinggi (+9,7 persen), diikuti jenis kapal tanker minyak (5,8 persen) dan tanker kimia (4,7 persen). Sebaliknya, kapal jenis General Cargo mengalami pertumbuhan negatif (-0,2 persen). Pangsa tonase kapal general cargo di dunia saat ini hanya tersisa 4 persen, turun dari 17 persen pada tahun 1980.
Walau pertumbuhan armada niaga cenderung melambat, namun pasokan armada kapal masih melebihi permintaan pasar. Surplus kapal, terutama pada kapal kontainer membuat harga freight anjlok dan menyebabkan sebagian besar perusahaan pelayaran merugi. Pada 2016, akumulasi kerugian operasional perusahaan pelayaran kontainer tercatat sebesar $ 3,5 miliar.
Over capacity, terutama di pelayaran kontainer, mendorong merger dan aliansi antara perusahaan pelayaran dunia. Walau langkah tersebut dapat mengatasi persoalan surplus kapasitas, Merger dan Aliansi juga mengandung bahaya yakni terbentuknya pasar yang oligopolistik. Secara teori, pasar yang dikuasai sedikit penjual akan cenderung merugikan konsumen karena keterbatasan pilihan. Kecenderungan yang merugikan ini semakin nyata karena merger dan aliansi di atas tidak hanya terjadi di pelayaran, namun juga merambah pada bisnis terminal dan pelabuhan.
UNCTAD menyarankan kepada negara-negara untuk mengawasi proses merger dan akuisisi serta pembentukan aliansi pelayaran. Semaksimal mungkin untuk mencegah terciptanya pasar oligopoli di atas. Namun, sejauh ini upaya tersebut masih sebatas normatif mengingat banyak merger dan aliansi yang sudah disetujui oleh otoritas keuangan di negara tempat perusahaan-perusahaan pelayaran tersebut terdaftar.
Struktur Armada dan Industri Maritim
Dalam bab tentang perkembangan industri maritim dunia, laporan UNCTAD mencatat berbagai negara telah mengkhususkan diri pada subsektor maritim tertentu, antara lain kepemilikan (ship owning), pendaftaran kapal (Ship Registry), pembangunan kapal (Ship Building), dan Ship scrapping. Keempat subsektor tersebut menggambarkan struktur armada kapal dan industri Maritim dunia.
Yunani masih tercatat sebagai negara dengan pemilik kapal terbesar berdasarkan tonase, diikuti Jepang, China, Jerman dan Singapura. Kelima negara tersebut menguasai hampir separuh dari total tonase dunia. Indonesia termasuk dalam 35 besar di posisi ke 22. Data UNCTAD menunjukkan terdapat 1840 unit kapal yang dimiliki perusahaan dan perorangan Indonesia, dengan total tonase mencapai 18, 7 juta dwt.
Dalam Ship Registration, terungkap bahwa hampir 70 persen kapal didaftarkan pada negara yang berbeda dengan negara asal pemiliknya. Kondisi tersebut dimungkinkan karena penerapan Open Registry oleh beberapa negara, yang umumnya merupakan negara-negara kecil atau sedang berkembang. Panama, Marshall Island, dan Liberia tercatat sebagai tiga besar registry country dari aspek tonase. Negara-negara yang menerapkan Open Registry umumnya mengincar pendapatan dari pajak dan registry fee dari setiap tonase kapal yang mendaftar.
Dari segi jumlah kapal yang terdaftar, Indonesia berada di peringkat pertama dengan 8782 unit kapal (Panama 8052 unit). Namun dari segi tonase, Indonesia yang menganut sistem closed registry berada di peringkat 14, di bawah Norwegia dan di atas India. Hal ini menunjukkan kapal-kapal berbendera Merah Putih didominasi kapal berukuran kecil yaitu 4 269 dwt. Dari nilai aset kapal, Indonesia berada di peringkat 20, dengan total nilai 7943 miliar dollar AS. Sangat jauh jika dibandingkan Panama di peringkat teratas dengan nilai aset kapal terdaftar mencapai 116.850 Miliar dollar AS.
Korea Selatan, RRC dan Jepang masih mendominasi industri galangan kapal. Sepanjang tahun 2016, sebanyak 91.8 persen (dari tonase) kapal dibangun di ketiga negara tersebut. RRC dominasi pembangunan kapal jenis bulk carrier dan general cargo. Korea Selatan kuat di pembangunan kapal kontainer, tanker dan LNG carrier. Yang menarik adalah Filipina. Negara tetangga Indonesia ini berada di peringkat ke-empat dalam pembangunan kapal, dengan dominasi pada jenis Bulk carriers dan Container ships.
Ship demolition atau ship scrapping adalah industri penghancuran kapal yang berusia tua. India, Bangladesh, Pakistan dan RRC mendominasi hampir 95 persen sub sektor ini. Turki mendominasi hanya di scrapping kapal jenis LNG Carrier. Seperti halnya ship building, Data UNCTAD tidak memperlihatkan posisi Indonesia di industri ini.
Spesialisasi setiap negara pada industri maritim tertentu di atas berkonsekuensi pada pilihan kebijakan tertentu demi melindungi industri maritim andalannya. Tak jarang pilihan kebijakan yang tersedia saling berkontradiksi. Misalnya, pilihan antara melindungi bisnis pelayaran nasional (dari persaingan dengan pelayaran asing) atau meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya logistik melalui liberalisasi pelayaran domestik dan pelabuhan.
Dalam konteks ini, Indonesia konsisten (sejak 2008) menerapkan asas cabotage dalam upaya meningkatkan konektivitas maritim domestiknya. Hal ini tercermin dengan implementasi program Tol Laut dan pengadaan kapal niaga pendukungnya yang mengandalkan pembiayaan dari negara, seperti halnya pelayaran perintis.
Laporan UNCTAD tidak memerinci kondisi industri galangan Indonesia, yang dikabarkan sedang mengalami masa sulit karena sepinya pesanan. Rencana pemerintah Indonesia memangkas pengadaan kapal bagi kebutuhan program Tol Laut, Pelayaran Perintis dan kapal negara akan menambah suram masa depan industri pelayaran nasional.
Untuk membaca secara lengkap Review of Maritime Transport 2017 dari UNCTAD silahkan klik link ini. [AS]