JMOL. Dalam Seafarer Workforce Report 2021 yang dirilis BIMCO/ICS disebutkan ada 1,89 juta pelaut yang bekerja pada lebih dari 74 ribu kapal niaga di seluruh dunia. Laporan yang sama menyebutkan telah terjadi kekurangan 26.240 pelaut officers yang bersertifikasi STCW dan memprediksi potensi kekurangan hampir 90 ribu pelaut level perwira (officers) pada tahun 2026.
Sebelumnya, BIMCO/ICS pada tahun 2020 melaporkan hal serupa. Saat itu, jumlah pelaut mencapai 1.647.500 pelaut, terdiri dari 774.000 officers dan 873.500 ratings. Sementara, kebutuhan pelayaran dunia saat itu diperkirakan 1.545.000 pelaut, dengan rincian 790.500 officers dan 754.500 ratings. Artinya, terjadi kekurangan 16.500 officers dan kelebihan (surplus) 119.000 ratings.
China, Filipina, Indonesia, Rusia dan India menjadi lima negara pemasok terbesar pelaut (officers dan ratings). Filipina adalah pemasok peringkat terbesar untuk ratings, diikuti oleh China, Indonesia, Rusia, dan India. Sedangkan untuk pelaut level officers (perwira), China merupakan pemasok terbesar, disusul Filipina, India, Indonesia dan Rusia.
“Indonesia termasuk negara yang diandalkan untuk memasok pelaut. Namun untuk level perwira yang saat ini masih defisit, setidaknya kita dapat berkontribusi sekitar 6 persen dari kebutuhan, yaitu sekitar seribu orang”, kata Gatot Cahyo Sudewo dalam Forum Diskusi Maritim INAMARINE 21 Oktober 2022 JIExpo Kemayoran, Jakarta
Jika basisnya adalah terhadap kekurangan 90 ribu officers pada tahun 2026, maka peluang Indonesia mencapai 5000 orang pelaut perwira.
Bagaimana data pelaut Indonesia? Berdasarkan Ditkappel Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub RI, tercatat sebanyak 1,325,850 orang pelaut WNI.
Darinya, sebanyak 143,702 orang yang bekerja di pelayaran global, terdiri atas 51,237 officers dan 92,645 rating. Apakah ini berarti 90 persennya atau hampir 1,2 juta pelaut bekerja di pelayaran domestik? Belum ada data akurat tentang itu.
Tantangan Mencetak Pelaut Officers
Apakah Indonesia dapat memanfaatkan peluang memasok kebutuhan hampir 90 ribu officers di tahun 2026?, tiga tahun dari hari ini.
Menurut Gatot, Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP Pramarin, ada beberapa tantangan dalam mencetak pelaut level officers (perwira) yang sesuai dengan kebutuhan industri pelayaran internasional.
Yang pertama, untuk menjadi perwira, seorang cadet (calon perwira) harus menjalani proses yang panjang, meliputi praktek laut (Prala) selama 12 bulan, kemudian ujian pasca Prala, dan ujian keahlian pelaut untuk mendapatkan ijasah ANT/ATT III. Jika dihitung sejak masuk akademi, maka dibutuhkan 3,5 tahun.
“Itu pun setelah memperoleh ijasah ANT/ATT III (fresh graduate) masih saja sulit diterima kerja sebagai perwira di kapal. Bahkan banyak yang akhirnya terpaksa bekerja sebagai rating dulu. Dengan harapan, jika performa nya bagus, ia memperoleh kesempatan dipromosikan menjadi perwira”, kata Gatot.
Yang kedua, kesempatan prala yang terbatas. Pelayaran domestik didominasi kapal jenis tugs & barge, yang tidak bisa dijadikan sarana prala. Berdasarkan data BKI, di atas kertas hanya sekitar 20 persen (sekitar 5000 kapal) yang layak untuk prala. Itu pun jika sesuai dengan kebutuhan crew di kapal-kapal tersebut.
Untuk kesempatan Prala di kapal-kapal asing (ocean going), belum ada upaya komprehensif untuk membantu menempatkan para cadet tersebut. Padahal dalam menerima cadet, kapal-kapal asing melakukan seleksi yang cukup ketat.
“Selama ini manning agency yang lebih banyak berperan karena mereka yang punya koneksi dengan pelayaran asing”, ungkap Gatot.
Tantangan yang ketiga berkaitan dengan tantangan pertama dan kedua, yaitu masih rendahnya kualitas pendidikan di institusi pendidikan pelayaran nasional. Hal ini meliputi kualitas pengajar dan kelengkapan sarana prasarana, seperti simulator deck and engine.
“Banyak institusi pendidikan pelaut yang tidak memilikinya (simulator) karena harganya sangat mahal. Demikian juga soal pengajar yang berkualitas. Jika melibatkan pelaut yang pengalaman (sebagai pengajar) seperti mantan nakhoda atau chief engineer, institusi pendidikan umumnya tidak sanggup membayarnya”, ungkap Gatot.
Perlu Program Tambahan
Gatot mengusulkan dua program tambahan untuk mengatasi, dalam jangka pendek, tiga tantangan (atau hambatan) di atas.
Yang pertama adalah Pre-Selection Training. Melalui pembekalan selama 3 minggu atau 120 jam (90 jam praktek dan 30 jam teori) untuk menyiapkan para cadet dalam menghadapi seleksi prala.
Yang kedua adalah in-house training (refreshing). Program ini mempersiapkan dan mengupgrade pelaut ANT/ATT III agar sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan industri pelayaran.
Selain dua program di atas, Gatot juga menawarkan ‘langkah praktis’ yang dapat diadopsi, yaitu penyesuaian sertifikat dengan regulasi negara bendera.
“Sertifikat pelaut sebaiknya disesuaikan dengan peraturan negara bendera kapal (Flag State). Misalkan kapal Indonesia yang berbendera Panama, maka sertifikat yang dimiliki oleh pelaut harus disesuaikan dengan peraturan di Negara Panama. Cara ini mempermudah penerimaan pelaut kita”, tutup Gatot.
Pelayaran global memang kekurangan perwira. Namun Indonesia, negara pemasok perwira terbanyak ke-4 dunia, nampaknya tengah kesulitan memenuhinya. Setidaknya, untuk beberapa tahun ini. [AS]