JMOL. Tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba Sumatera Utara menambah daftar tragedi memilukan bagi dunia maritim Indonesia. KM Sinar Bangun dilaporkan mengangkut sekitar 200 penumpang tenggelam di Danau Toba pada Senin Sore tanggal 18 Juni 2018. Sejauh ini sudah dievakuasi adalah 18 orang selamat dan 4 orang meninggal. Sebanyak 183 korban diduga terperangkap dalam badan kapal.
Hingga satu minggu lebih, tim SAR gabungan yang dipimpin Basarnas masih belum memastikan posisi karam kapal di dasar danau yang bisa mencapai 500 meter tersebut. Setelah diketahui posisi kapal, masih harus dilakukan operasi pengangkatan badan kapal. Jika upaya ini memang ditempuh, diperlukan proses identifikasi terhadap jasad korban yang diperkirakan sudah mengalami proses skeletonied.
Untuk mencoba memahami permasalahan kecelakaan kapal di Indonesia, termasuk bagaimana upaya perbaikan yang sebaiknya ditempuh pemerintah, Jurnal Maritim meminta pendapat tiga orang narasumber, yaitu Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Saut Gurning, pengamat pelayaran dan dosen tetap di ITS, serta Ali Yusa, seorang praktisi maritim (Boat Builder) dan konsultan pada Dinas Perhubungan Jawa Timur.
Pertanggungjawaban Negara
Empat hari setelah tenggelamnya KM Sinar Bangun, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membentuk Tim Adhoc untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan pada lintas penyeberangan di Danau Toba.
Untuk diketahui, operasional lintas penyeberangan di Danau Toba saat ini dibawah kewewenangan Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sumatera Utara, yang antara lain meliputi pemberian izin operasional kapal, pengawasan, dan fungsi-fungsi kepelabuhanan.
Siswanto Rusdi melihat pembentukan Tim Adhoc menjelaskan bahwa Kemenhub akan (kembali) melempar kesalahan kepada pihak Dishub propinsi Sumut. Padahal selama ini pelimpahan wewenang kepada daerah tidak disertai pembinaan dan penganggaran yang memadai.
Selain itu, fungsi pengawasan dan penyelenggaraan yang masih dipegang di satu pihak yaitu Kemenhub, membuat tidak adanya check and balance dan menumbuhkan spirit de corps yang negatif.
“Terjadi budaya ewuh pakewuh, kongkalikong dalam perijinan, hingga yang paling parah adalah saling melindungi jika terjadi kecelakaan. Bukan hal yang mengagetkan jika ditemui PNS dishub atau kemenhub yang merangkap sebagai operator dan pemilik kapal,” kata Rusdi.
Siswanto Rusdi mendesak pejabat otoritas pelayaran Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk bertanggung jawab. Sesuai prinsip UU pelayaran dimana disebutkan bahwa pelayaran nasional diselenggarakan oleh negara
Ini berarti bahwa negara dalam hal ini pemerintah cq kemenhub memiliki peran yang dominan dalam pelayaran nasional. Peran yang dominan tersebut diwejahtahkan dalam kewenangan yang besar yang meliputi pembinaan, perencanaan, pengawasan, dan penyelenggaraan pelayaran nasional.
Dalam kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun, berdasarkan informasi yang beredar bahwa setidaknya ada dua kelalaian Nakhoda, yang pertama Over Capacity, dan kedua yaitu pengabaikan terhadap peringatan cuaca. Penyelidikan oleh KNKT dan Polisi akan mengungkap seluruh aspek penyebab dan aktor yang berkontribusi atas terjadinya kecelakaan kapal.
Dalam hukum maritim, nakhoda adalah penanggungjawab utama sebuah kapal. Namun nakhoda sesungguhnya adalah perpanjangan tangan negara. Karena sebuah kapal membawa bendera negara dan berlayar atas ijin negara. Apalagi kapal yang membawa penumpang umum.
Begitulah maritim bekerja. Karena itu negara tetaplah berkontribusi secara dominan dalam setiap kecelakaan. Pertanggung jawaban dari menteri adalah konsekuensi sekaligus bukti atas peran negara yang dominan di atas.
“Saya tidak tahu seperti dan sebesar apa tanggung jawabnya, namun haruslah yang sepadan. Karena itu akan mendorong secara signifikan segala upaya perbaikan di masa depan”, kata Rusdi.
Dipindahkan ke Hubla
Dihubungi secara terpisah, Saut Gurning menilai upaya Kemenhub menugaskan tim adhoc di atas tidaklah cukup. Menurutnya peristiwa di Danau Toba dan kejadian kecelakaan pelayaran terutama pada angkutan kapal-kapal kecil di wilayah perairan lainnya, sudah merupakan persoalan sistemik yang karut dan marut. Karenanya, yang dibutuhkan adalah usaha perbaikan yang juga sistemik.
“Menangani kecelakaan KM Sinar Bangun tidaklah mudah hanya dengan melihat personalisasi seorang pejabat saja. Persoalan yang ada bukanlah akibat baik-tidaknya atau kuat/lemahnya seorang Menteri perhubungan”, kata Saut.
Saut melanjutkan, jika sistem penyelenggaraan keselamatan tidak berubah, maka kejadian miris hilangnya nyawa manusia di wilayah perairan nasional akan selalu berulang.
Akar masalahnya sama, yaitu persoalan lemahnya SDM, budaya tidak tertib, disertai kesadaran keselamatan yang rendah yang berdampak lanjut pada lemahnya perhatian untuk mencapaikan kelaikan kapal termasuk pengawasan kelaikan kapal.
Secara faktual, pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten dan kota memiliki keterbatasan, kelemahan, orientasi serta prioritas yang berbeda dalam mengelola angkutan penyeberangan di daerahnya.
Ditambah lagi dengan kewenangan yang diberikan dalam bentuk desentralisasi dan dekonstrasi yang lebih cenderung berorientasi pada penambahan PAD daerah dan bukan tanggung-jawab keselamatan pelayaran. Jadi persoalannya sistemik.
Untuk itu, Dosen tetap di Fakultas Teknologi Kelautan ITS ini menyarankan tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah c/q Kemenhub, yaitu:
Pertama, mengembalikan kembali fungsi otoritas penyelenggara keselamatan pelayaran kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenhub c/q Ditjen Hubla.
Dijelaskan Saut, dalam aplikasi dan best practice di berbagai negara, pemerintah Cq Kemenhub sesungguhnya adalah entitas maritime administration/MARAD, yang menurut banyak rezim hukum atau konvensi keselamatan maritim (SOLAS) memiliki fungsi sebagai flag state (otoritas bendera kapal), port state (otoritas keselamatan dan keamanan), fungsi pencegahan polusi laut, fungsi operasi SAR (search and rescue) dan layanan navigasi perairan.
Hal di atas selaras dengan Pasal 117 UU nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Sehingga dalam hal keselamatan pelayaran, otoritas perencanaan, pengendalian, pengawasan dan pelaksanaan harus dikembalikan kepada otoritas yang sesuai dengan armada atau moda angkutannya, yaitu Ditjen Hubla, bukan Hubdar.
Yang kedua, memperkuat pemahaman, kepedulian dan partisipasi SDM maritim, termasuk masyarakat pengguna jasa. Upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh komponen, entitas serta masyarakat maritim nasional.
Saran ketiga, yaitu penerapan dan pendidikan tentang NCVS (Non Convention Vessel Standar), khususnya kepada operator, pemilik kapal dan regulator di daerah.
Perkuatan Kompentensi Maritim Daerah
Senada dengan Saut, Ali Yusa juga menilai kompetensi aparat Dishub di daerah secara umum masih rendah. Hal ini diperparah oleh sikap pimpinan daerah yang umumnya mengabaikan aspek keselamatan pelayaran. Namun jika dikembalikan ke pusat, Yusa menilai pusat tak akan sanggup mengingat sangat luasnya wilayah dan banyaknya jumlah armada.
“Setahu saya penjualan OBM (On Board motor) untuk kapal-kapal kecil mencapai 20 rb unit per tahun, dan tiap tahun bertambah. Total armada kecil saya kira bisa mencapai ratusan ribu unit” ungkap Yusa.
Anggota dewan pembina IKA ITS ini menyarankan program yang fokus pada pembinaan daerah dengan supervisi yang ketat dari pusat, meliputi peningkatan kompetensi aparat, bahkan jika perlu rekrutmen petugas baru yang memenuhi kualifikasi yang memadai.
Ali Yusa menceritakan pengalamannya mendampingi Dishub Propinsi Jawa Timur dalam membenahi perahu tambang yang beroperasi seluruh Jatim. Perahu tambang adalah perahu yang digunakan untuk penyeberangan sungai. Digerakkan dengan cara menarik tambang yang terpasang melintang badan sungai.
Paska kecelakaan perahu tambang di Kali Surabaya pada Maret 2017 (5 orang meninggal dunia, termasuk 1 orang dinyatakan hilang), Dishub Jatim melakukan pembinaan dan penertiban terhadap sekitar 1500-an perahu tambang. Daya apung, material, perlengkapan keselamatan diperiksa. Separuh lebih perahu tambang saat itu dinyatakan tidak layak dan operatornya diberi pembinaan, pendampingan hingga memperoleh perahu yang layak. Dishub Jatim menggandeng dinas perindustrian dan asuransi jasa raharja.
“Selama satu tahun upaya tersebut berjalan konsisten karena kuatnya komitmen pemda Jatim. Sekarang di Jatim penumpang perahu tambang dijamin oleh asuransi Jasa Raharja”, cerita Ali Yusa.
Tentang tragedi di Danau Toba, Ali Yusa mengatakan bahwa Pemda Sumut jelas mengabaikan pengawasan terhadap danau Toba yang luas dengan aktifitas pelayaran yang cukup masif.
“Untuk jangka pendek, sebaiknya Kemenhub prioritaskan daerah-daerah yang memiliki aktivitas pelayaran sungai dan danau yang masif,” kata Ali Yusa.
Pendiri jurusan Teknik Perkapalan di Universitas Muhammadiyah Gresik ini merekomendasikan lima langkah yang perlu dikedepankan dalam rangka perbaikan pelayaran rakyat, yaitu; (1) Penataan alur pelayaran; (2) Peningkatan kompetensi aparat pemerintah yang terkait pelayaran hingga ke tingkat desa; (3) Melakukan evaluasi/inpeksi terhadap armada yang ada dengan meninjau kembali kesesuaian dokumen kapal dan kondisi kapal; (4) Melibatkan Dinas Perindustrian dalam upaya peningkatan kemampuan pembuat kapal (tukang pacak) dan industri kapal rakyat dalam perancangan dan pembangunan kapal; serta (5) melakukan penyuluhan terhadap aspek operasional dan resiko selama pelayaran.
Ali Yusa menekankan pada pemenuhan kualitas kapal, yaitu dapat memenuhi standar safety. Menurutnya, aspek kualitas kapal berkontribusi sangat dominan dalam keselamatan pelayaran. [AF]