Oleh: M. Riza Damanik, Ketua Umum KNTI
Selain salmon, udang menjadi salahsatu komoditas ekonomi perikanan yang merajai perdagangan dunia. Melalui skema Perhutanan Sosial, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama udang hasil budidaya.
Laporan Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO, 2018) menyebut proporsi perdagangan komoditas udang mencapai 16 persen dari total nilai perdagangan ikan di pasar global. Sebagian kalangan menyebutnya “emas putih”. Tak heran, negara-negara yang termasuk dalam jajaran papan atas eksportir ikan adalah (juga) pedagang udang.
Ambil contoh Vietnam, selain ikan patin, komoditas udanglah yang mengantarkan Vietnam masuk tiga besar eksportir ikan di dunia. Saat ini total nilai ekspor perikanan Indonesia pada kisaran US$ 4 milyar. Angka ini masih lebih rendah dibanding Cina yang sudah mencapai lebih dari US$20 milyar, Vietnam US$7 milyar dan Thailand US$5 milyar.
Kemandirian
Bagi masyarakat kepulauan-tropis seperti Indonesia, berbudidaya udang bukanlah hal baru. Bahkan tiga dekade silam, Indonesia telah mulai membangun kawasan pertambakan udang terpadu dengan pola inti-plasma di Dipasena, Lampung. Luasnya tak tanggung-tanggung: 16,250 hektar. Terluas di dunia kala itu!
Proses rekrutmen-khusus juga dilakukan untuk mendatangkan lebih dari 7.000 calon petambak dari seluruh penjuru negeri. Konon, produksinya sempat mencapai 27 ribu ton dengan nilai sekitar Rp 3,2 trilyun. Celakanya prestasi ini tak bertahan lama. Produktivitas tambak berangsur turun sejalan dengan melebarnya konflik sosial yang dipicu kesepakatan kerjasama yang timpang antara perusahaan inti dan petambak plasma. Lingkungan rusak akibat konversi hutan mangrove yang tak terkendali. Akibatnya, satu-persatu kolam rakyat tak beroperasi dan ditumbuhi ilalang. Kriminalitas meningkatkan. Ekonomi udang nasional pun ikut merosot.
Di 2011, petambak Dipasena memasuki babak baru. Tambak-tambak rakyat yang dulunya dikendalikan sepenuhnya oleh korporasi, sekarang dikelola secara mandiri oleh perhimpunan petambak. Infrastruktur yang hancur satu persatu terpulihkan dengan mengandalkan sumbangan Rp 1.000,- dari hasil penjualan tiap kg udang petambak dan dana desa.
Mulai dari perbaikan kanal sepanjang 1.200 km, pembangunan 7 jembatan penghubung antarkampung dengan panjang masing-masing 120 meter, hingga pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Bahkan tahun lalu, petambak bertekad untuk memiliki pesawat udara sendiri agar produk udangnya dapat langsung di pasarkan dengan harga premium.
Dipasena mengajarkan kita tentang esensi berbudidaya: berbudilah terlebih dahulu, barulah petambaknya dapat berdaya. Berbudidaya, bukan sekedar urusan teknis memilih bibit dan pakan yang baik. Apa budinya? Mandiri. Kemandirian yang melekat pada individu-individu petambak harus diorganisir menjadi kemandirian kolektif petambak.
Pasalnya, budidaya udang adalah kegiatan ekonomi yang memiliki resiko tinggi. Meski berbeda kepemilikan, kolam tambak di satu kawasan terhubung dalam satu sistem pengairan. Artinya, kesalahan di satu kolam, dapat berdampak buruk ke seluruh kolam. Maka, kerjasama yang dilandasi rasa senasib-sepenanggungan dalam mengelola kawasan pertambakan udang akan memastikan seluruh perlakukan di tiap-tiap kolam: sama sehat dan sama untung. Dalam kondisi terburuk, kerugiannya pun tak terlalu terasa karena dipikul bersama-sama pula.
Peluang
Presiden Joko Widodo bertekad mengatasi ketimpangan ekonomi masyarakat yang salahsatu strategi utamanya membalik ketimpangan penguasaan lahan. Melalui skema Perhutanan Sosial ditargetkan seluas 12,7 juta hektar lahan diberikan aksesnya kepada masyarakat untuk dikelola selama 35 tahun, agar: produktif secara ekonomi, adil secara sosial, dan lestari secara lingkungan.
Tidak saja di dataran tinggi, Perhutanan Sosial juga di arahkan untuk memulihkan lingkungan dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan pantai. Kombinasi kemitraan usaha budidaya udang di dalam skema Perhutanan Sosial belum banyak dilakukan. Salahsatunya diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2017 di Muara Gembong, Jawa Barat.
Di kawasan ini, tiap petambak mendapat akses 2 hektar lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sekitar 40-50 persen lahannya dimanfaatkan untuk berbudidaya udang, dan sebagian sisanya untuk pemulihan hutan mangrove. Sejalan dengan itu, infrastruktur dasar juga diselenggarakan.
Perusahaan Listrik Negara mulai menyambungkan aliran listrik ke tambak-tambak rakyat. Kementerian Pekerjaan Umum membenahi akses jalan tambak agar pada saatnya nanti dapat memudahkan pengangkutan hasil panen. BUMN Perindo dan terbuka bagi swasta untuk membeli produk udang rakyat. Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan para penyuluh mendampingi warga agar dapat mengelola tambak udangnya secara lebih bertanggungjawab. Dan, BUMN Bank Mandiri membuka akses permodalan bagi para petambak.
Kita tidak memulai dari “nol”. Saya percaya, pondasi ekonomi perikanan nasional sudah semakin kokoh dengan bekal kemandirian Dipasena dan kemitraan Muara Gembong. Kerja besar berikutnya adalah mengkombinasikan keunggulan dari keduanya untuk direplikasi ke desa-desa pesisir lain di kepulauan-tropis Indonesia. Jika cepat dilakukan, pertambakan udang rakyat akan segera bertransformasi menjadi simpul kekuatan ekonomi baru Indonesia. **