Home Artikel Akhir 2018, Ukuran Minimal Kapal Diberlakukan di Penyeberangan Selat Sunda

Akhir 2018, Ukuran Minimal Kapal Diberlakukan di Penyeberangan Selat Sunda

2326
1
SHARE

JMOL. Akhir tahun ini, tepatnya 24 Desember 2018 adalah tahun ke-4 sejak Permenhub Nomor PM 88/2014 diundangkan. Permenhub di masa menteri perhubungan dijabat Ignasius Jonan tersebut mewajibkan kapal angkutan penyeberangan yang beroperasi pada lintas Merak – Bakauheni (Selat Sunda) berukuran paling sedikit 5.000 GT. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan/jaringan rel kereta yang dipisahkan oleh perairan.

Menurut catatan Redaksi, terdapat dua hal yang menyebabkan Selat Sunda menjadi penting. Yang pertama adalah dibatalkannya rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda. Kedua, terbangunnya jalan tol Trans Jawa dan jalan tol trans Sumatera. Keduanya menghasilkan konsekuensi pada angkutan penyeberangan selat Sunda sebagai satu-satunya “jembatan’ penghubung Jawa dan Sumatera. Peningkatan kapasitas dan jumlah dermaga, frekuensi pelayaran, dan daya angkut kapal menjadi tidak terhindarkan.

Kemenhub menyebutkan bahwa pembatasan ukuran minimal kapal Ferry Roro di Selat Sunda diterapkan karena menilai frekuensi pelayaran sudah optimal. Kebijakan ini juga sesuai dengan pertumbuhan demand yang meningkat akibat terbangunnya Jalan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. Tol Palembang – Bakauheni, sebagai contoh, mulai beroperasi pada Desember 2018 ini.

Kajian tentang kapasitas dermaga dan kapal di Selat Sunda sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Riset yang dilakukan Idham H Nugraha dari FTUI (2012), sebagai contoh, menyarankan peningkatan ukuran kapal dan penambahan jumlah dermaga. Bahkan juga menyarankan perlunya jalur pelayaran tambahan di luar lintas Merak-Bakauheni. Alasannya, kepadatan arus kendaraan Jawa Sumatera yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Pro-Kontra

Pada saat Permenhub PM 88/2014 diundangkan, terdapat 52 kapal Ferry Roro yang beroperasi di lintas Merak-Bakauheni. Darinya, 22 unit berukuran 5.000 GT atau lebih, dan 30 unit di bawah 5.000 GT. Dalam 4 tahun masa transisi, para operator diberi kesempatan untuk mengganti armada < 5000 GT, dan memberi prioritas bagi 30 armada yang tereliminasi tersebut memperoleh ijin rute di lintas penyeberangan lainnya.

Hingga tahun 2018 ini, beberapa minggu jelang pemberlakuan, jumlah kapal yang beroperasi di lintasan sepanjang 15.5 mil tersebut 71 unit, dengan 51 unit berkapasitas di atas 5.000 GT. Dilayani oleh 6 pasang dermaga di Merak dan Bakauheni yang dioperasikan oleh PT ASDP Ferry. Kemenhub menyebutkan per 24 Desember 2018, jumlah armada yang beroperasi di Selat Sunda dibatasi 68 unit dan seluruhnya berukuran 5.000 GT ke atas.

Penerapan Permerhub PM 88/2014 masih menimbulkan pro-kontra di kalangan operator/pemilik kapal Ferry Roro. Operator kapal yang tergabung dalam INFA (Indonesian National Ferryowners Association) mendukung pembatasan di atas. Sekarang ini ada 14 perusahaan yang jadi anggota INFA, dengan 16 kapal beroperasi di lintas Merak-Bakauheni. Pada September 2018, INFA menyatakan ada 14 kapal baru yang bergabung melayani penyeberangan Selat Sunda.

Asosiasi yang lebih tua, Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) sejak tahun lalu menolak pembatasan ukuran kapal tersebut. Di Selat Sunda, terdapat 15 kapal milik anggota Gapasdap yang beroperasi. Menurut kajian Gapasdap, jumlah kapal yang beroperasi terlalu banyak, tidak sebanding dengan kapasitas dermaga yang tersedia alias oversupply. Idealnya, enam dermaga cukup melayani 36 kapal. Jika sampai 68 kapal seperti rencana Kemenhub di 2018, maka hari layar tiap kapal hanya 12 hari dalam sebulan. Selain itu, pengoperasian kapal besar pada saat off peak time hanya memboroskan bahan bakar. Secara keseluruhan, Gapasdap menilai pembatasan ukuran kapal akan merugikan bisnis angkutan penyeberangan.

Dalam beberapa minggu ke depan, pro-kontra pembatasan ukuran kapal di Selat Sunda nampaknya masih bergulir. Perlu diingat bahwa selain batas tonase di atas, kapal Ferry Roro yang beroperasi di Selat Sunda juga harus mampu melaju dengan kecepatan minimal 10 knot. Ditambah kewajiban menggunakan bahan bakar B20 serta melaporkan pemakaiannya secara berkala, membuat bisnis angkutan penyeberangan Selat Sunda semakin ‘menantang’. Bon Voyage!. [AF]

1 COMMENT

Comments are closed.