Home Artikel Wajib AIS Mulai 20 Agustus. Pelra Berharap Subsidi, Perikanan Minta Penundaan

Wajib AIS Mulai 20 Agustus. Pelra Berharap Subsidi, Perikanan Minta Penundaan

6445
0
SHARE

JMOL. Kebijakan wajib AIS tetap diberlakukan mulai 20 Agustus mendatang. Tidak ada pengecualian bagi kapal SOLAS, sedangkan bagi kapal non SOLAS dipertimbangkan adanya penundaan pemberian sanksi.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo saat menjadi Keynote Speaker pada acara “Diskusi Nasional Ada Apa dengan AIS?” yang diselenggarakan oleh Ocean Week di Marc Hotel Passer Baroe Jakarta (14/8).

Regulasi Wajib AIS adalah PM No 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia. Seluruh kapal yang kategorinya masuk dalam Peraturan tersebut (300 GT ke atas, atau minimal 500 DWT untuk jenis kapal barang) dan berlayar di Perairan Indonesia wajib memasang dan mengaktifkan AIS serta memberikan informasi data dinamis dan data statis yang benar.

Baca: Tahun 2019, Kemenhub Terapkan Wajib AIS di Laut Indonesia

Esensi dari pemberlakuan AIS ini adalah security dan safety. Dirjen Agus mengatakan Wajib AIS ini sudah melalui kajian mendalam dan sesuai dengan aturan Internasional yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) dan Safety Of Life at Sea (SOLAS).

“Pengawasan terhadap kapal-kapal tersebut dilaksanakan secara langsung (terestrial) maupun satellite oleh Ditjen Hubla melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) guna peningkatan keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan maritim,” ujar Dirjen Agus.

Dengan AIS ini proses identifikasi kapal apabila terjadi kecelakaan menjadi lebih mudah, sehingga tentunya dapat mempercepat proses SAR. Selain itu, mudah untuk mengidentifikasi kapal-kapal yang hendak melakukan penyelundupan barang berbahaya seperti narkoba.

Pelayaran Rakyat Minta Subsidi

Ketua DPC Pelra Sunda Kelapa, Abdullah, yang turut hadir pada acara Diskusi tersebut menyampaikan bahwa pada prinsipnya Pelra mendukung pemberlakuan PM 7 Tahun 2019.

AIS dapat0 membantu dari sisi keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal pelra yang masuk ke hulu-hulu sungai yang mempunyai alur pelayaran yang sempit.

“Di hulu sungai ini kita (kapal Pelra) sering berbenturan dengan kapal-kapal tongkang, dengan adanya AIS ini kita bisa langsung berkomunikasi dan mengetahui jarak dan kecepatan kapal tongkang tersebut,” ujarnya.

Namun demikian, pihaknya menilai harga AIS masih terlalu mahal untuk Pelayaran Rakyat yang menggunakan sistem bagi hasil. Abdullah berharap Pemerintah dapat memberikan subsidi pengadaan AIS.

Baca: WakatobiAIS, Perangkat AIS Class B Buatan Indonesia

Keberatan Kapal Ikan

Sebelumnya, dalam diskusi di sela-sela rakor satgas 151 yang digelar Kememterian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Yogyakarta (13/8), KKP menyampaikan kepada Kemmenhub untuk menunda penerapan wajib AIS untuk kapal ikan per 20 Agustus 2019 karena masih adanya keberatan dari para pelaku usaha perikanan tangkap. PM No 7/2019 memang mewajibkan kapal ikan di atas 60 GT menggunakan AIS class B.

Asosiasi perikanan tangkap menyatakan keberatan karena dua hal. Yang pertama, selama ini kapal ikan 30 GT ke atas sudah diwajibkan oleh KKP menggunakan VMS (Vessel Monitoring System), dimana fungsi AIS sudah ada di VMS. Mereka berharap hanya salah satu yang digunakan. Alasan kedua, data pantauan AIS terbuka untuk umum. Para pengusaha dan nelayan tidak ingin koordinat ‘fishing ground’ nya diketahui oleh kompetitor.

Untuk diketahui, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan disebutkan bahwa setiap kapal perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan di laut lepas wajib memasang transmiter VMS.

Pada kesempatan yang sama di atas, asosiasi usaha perikanan tangkap meminta Kemenhub untuk bekerja sama dengan KKP untuk melakukan sosialisasi mengenai dasar hukum, manfaat, metode, dan lain-lainnya di sentra-sentra perikanan di Indonesia.

Basar Antonius, Direktur Navigasi DJPL mengakui bahwa teknologi AIS dan VMS menggunakan frekuensi yang berbeda. AIS yang beroperasi pada Very High Frequency (VHF) 156 Mhz – 162 Mhz dapat menyampaikan laporan secara real time. Sinyal AIS dapat terdeteksi oleh stasiun Vessel Traffic Service (VTS) dan kapal terdekat, sedangkan VMS hanya terdeteksi oleh KKP melalui satelit (low orbit).

Tujuan AIS dan VMS sebenarnya hanya berbeda sedikit. Bagi Kemenhub, pemantauan posisi dan pergerakan kapal yang terbuka sangat penting untuk safety dan security. Sementara tujuan KKP melalui VMS yang berbasis satelit adalah untuk mengawasi aktivitas penangkapan ikan. Pelaku perikanan tangkap dan nelayan tidak ingin strategi penangkapannya terbuka dan diketahui kompetitor. Semuanya sama-sama baik. Semoga cepat tercapai titik temu. [AF]