JMOL. Perubahan nomenklatur “Daerah Pelayaran Kawasan Indonesia” (pasal 8 b PP 51/2002), menjadi “Daerah Pelayaran Perairan Indonesia” (pasal 88 b PP 31/2021) akan mengurangi daya saing kapal-kapal Non konvensi di bawah 500 GT.
Menurut Sekjen PRAMARIN Ali Samad, Near Coastal Voyage versi PP 31/2021 membuat kapal non konvensi bertonase under 500 GT wajib memenuhi persyaratan Kelaiklautan kapal yang setara kapal konvensi jika berlayar di luar batas perairan teritorial Indonesia (Lihat gambar).
“Area yang hilang sangat luas. Kapal non konvensi kini tidak bisa lagi berlayar di pesisir Malaysia dan di ZEE Indonesia”, kata Ali Samad memberikan gambaran.
Near-coastal voyage adalah istilah dalam pembagian wilayah perairan berdasarkan aspek geografi dan meteorologi. Secara sederhana, Near Coastal Voyage adalah pelayaran antar negara yang jaraknya kurang 500 NM dihitung dari pulau terluar suatu negara. Kebijakan Near-coastal voyage lazim diterapkan oleh banyak negara untuk melindungi armada pelayaran dan perdagangan regional.
Keuntungan berlayar di daerah near-coastal voyage bagi kapal berbendera Indonesia di bawah 500 GT adalah pemenuhan kelaiklautan kapal cukup mengacu kepada Non Convention Vessel Standards (NCVS) KM 65/2009. Tidak perlu mengacu kepada konvensi internasional SOLAS. NCVS mengatur kapal dengan bobot sampai dengan 500 gross ton (GT) yang berlayar di domestik. Sedangkan kapal diatas 500 GT diwajibkan mengikuti peraturan Safety of Life at Sea (SOLAS).
Indonesia memiliki lebih dari 51 ribu kapal non-konvensi dengan tonase kurang dari 500 GT. Belum diketahui dampak Near-coastal voyage terbaru ini terhadap bisnis pelayaran nasional. [AS]