JMOL. Sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo, terjadi banyak perubahan dalam kebijakan dan tata kelola usaha perikanan tangkap di Indonesia. Setidaknya ada dua kebijakan utama yang diterapkan, yaitu kedaulatan atas sumber daya perikanan, dan Penerapan Perikanan Lestari (sustainable fishing).
Kebijakan pertama memastikan hak atas sumber daya perikanan di laut teritorial Indonesia oleh WNI. Dan membuat usaha perikanan tangkap menjadi lebih terbuka bagi setiap WNI. Sementara, kebijakan perikanan lestari bertujuan untuk memastikan kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Secara singkat, kedua kebijakan di atas berarti mengandung sejumlah larangan. Apa saja? berikut adalah lima larangan yang penting diperhatikan oleh pelaku usaha perikanan tangkap di Indonesia.
Pertama, Menggunakan kapal Milik Asing dan Eks Asing. Larangan ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Daftar Negatif Investasi. Dalam Perpres tersebut, usaha perikanan tangkap tertutup dari modal asing. Artinya, menangkap ikan hanya boleh dilakukan oleh pengusaha nasional dan nelayan Indonesia, dengan modal (yang utama adalah kapal) milik 100 persen WNI.
Bagaimana dengan kapal eks asing? Tetap dilarang, walau hanya untuk kapal 30 GT ke atas. Larangan ini tercantum dalam Permen KP No 10/Permen-KP/2015 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI (WPPNRI).
Kedua, Kapal Berukuran di atas 150 GT. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran No D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan. Surat edaran tersebut menyebutkan, hanya mengizinkan perpanjangan bagi SIPI kapal di atas 150 GT yang diterbitkan sebelum edaran itu dikeluarkan. Tujuannya untuk mengendalikan kegiatan usaha penangkapan ikan dan pencegahan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF).
Ketiga, Transshipment. Yaitu memindahkan Ikan Hasil Tangkapan dari kapal ke kapal di atas laut (transhipment). Larangan transshipment diatur dalam PermenKP no. 57/2014 tentang usaha perikanan tangkap di WPPNRI.
Bertujuan untuk mencegah kapal mengirim langsung ikan ke luar negeri. Mendorong kapal ikan harus bersandar dahulu di pelabuhan Indonesia sebelum melakukan ekspor. Di pelabuhan, pengusaha harus membayar berbagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga retribusi dan lainnya. Belakangan larangan ini diperlonggar namun berbagai persyaratan dan pengawasan yang ketat.
Keempat, Menggunakan Alat Tangkap Ikan (API) Tertentu. Alasannya, untuk menjaga stok sumber daya ikan dan kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Pengaturan penempatan alat tangkap ada di Peraturan Menteri Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPPNRI.
Kelima, Menangkap jenis ikan dan biota laut tertentu, seperti bayi lobster, kepiting, rajungan berukuran tertentu. Detil tentang jenis biota laut yang dilarang ditangkap dapat dilihat di Permen No 56/2016.
Tentu saja, di luar lima larangan di atas, masih banyak kebijakan dan aturan terkait kelautan dan perikanan yang harus diikuti. Seluruhnya, termasuk regulasi yang mengatur ke-5 larangan di atas, dapat ditelusuri di link ini. [AF]