JMOL. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia, menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Penurunan Muka Tanah di Lahan Basah Pesisir” pada 27-28 Maret 2018, di Jakarta.
Sesuai tajuknya, seminar yang dihadiri oleh sekitar 70 peserta dari berbagai institusi tersebut, membahas tentang fakta, tantangan, serta strategi penanggulangan dampak dari penurunan muka tanah. Seminar memberi gambaran secara cukup lengkap serta pemahaman yang benar tentang ancaman bencana pada lahan basah pesisir.
Lahan Basah Pesisir
Luas dataran rendah pesisir di Indonesia diperkirakan sekitar 30 juta hektar. Terdiri dari berbagai ekosistem lahan basah yang penting, seperti ekosistem mangrove, gambut, muara sungai, laguna, pertambakan, dan lahan pertanian pasang surut. Sebagian besar berlokasi tidak jauh dari wilayah permukiman dengan elevasi dari permukaan laut kurang dari 30 meter.
Berbagai ekosistem tersebut memiliki nilai dan manfaat serta jasa lingkungan yang sangat luas bagi kehidupan. Di antaranya sebagai habitat atau tempat tinggal, pencegah intrusi air laut, penyimpan air tawar, cadangan karbon yang sangat besar serta untuk mitigasi kebencanaan, dan lain sebagainya.
Kondisi lahan basah pesisir di Indonesia saat ini terancam akibat alih fungsi untuk permukiman, pertambakan, perkebunan, pembangunan sektor industri, dan pembangunan sarana dan prasarana.
Selain alih-fungsi, pengambilan air tanah yang masif di wilayah lahan basah pesisir, terutama di perkotaan, telah mengakibatkan penurunan muka tanah. Pengambilan air dari lapisan permukaan kulit bumi telah menyebabkan pergeseran susunan bebatuan, dan akhirnya membuat permukaan tanah mengalami penurunan. Di pesisir utara pulau Jawa, kecepatan penurunan muka tanah berkisar 1-25 cm per tahun. Fenomena penurunan muka tanah kerap disebut silent killer, berlangsung perlahan tanpa disadari namun jika tidak diatasi akan menimbulkan bencana yang berdampak kepada manusia, seperti banjir dan hilangnya daratan.
“Penurunan muka tanah pernah terdeteksi di Tokyo pada tahun 1975, pemerintah Jepang waktu itu segera mengambil tindakan pengendalian pengambilan air tanah. Ada korelasi kuat antara penghentian pengambilan air tanah dengan laju penurunan muka tanah, baik di Tokyo maupun di Jakarta,” jelas Dr. Heri Andreas, pakar Geodesi dari ITB, salah seorang Narasumber Seminar.
Nyoman Suryadiputra, direktur Wetlands International Indonesia menyoroti pembukaan dan drainase lahan gambut, yang sebagian besar juga berada di kawasan pesisir. Hal ini juga menyebabkan penurunan muka tanah dan menghilangkan fungsi lahan gambut sebagai cadangan air tawar.
Pada saat yang sama, perubahan iklim secara global juga menyebabkan peningkatan muka air laut. Kedua fenomena tersebut menjadi penyebab bencana pesisir, yang selama beberapa tahun terakhir kerap terjadi di berbagai pelosok Indonesia.
Deklarasi Subsidensi Dataran Rendah
Di akhir seminar disepakati suatu Deklarasi Subsidensi Dataran Rendah yang menjadi rekomendasi kepada Pemerintah untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem lahan basah pesisir, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Deklarasi terdiri atas serangkaian langkah- langkah untuk mengurangi laju penurunan muka tanah dan menanggulangi berbagai potensi risiko yang diakibatkannya.
Termasuk diantaranya pengendalian terhadap pengambilan air tanah terutama di perkotaan, penerapan pembangunan yang ramah lingkungan, pengendalian kanalisasi di lahan gambut, dan pembuatan suatu peta jalan di tingkat daerah maupun nasional untuk upaya antisipasi dan penanggulangan muka tanah secara terpadu dan konsisten.
Deputy II Kemenko Maritim, Agung Kuswandono mengatakan akan menyiapkan peta jalan bagi perbaikan lahan basah pesisir dan pencegahan atas potensi bencana, yang mengintegrasikan sumber daya dan upaya dari berbagai pihak yang terkait. [RED]