JMOL. Tiga tahun berjalannya Poros Maritim Dunia, khususnya pada sektor Kelautan dan Perikanan, KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) menilai pemerintah masih belum menempatkan nelayan sebagai stakeholder utama dalam pengelolaan sumber daya alam di laut.
Dalam rilis yang diterima Redaksi hari ini (22/10/2017), DPP KNTI menilai pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), masih belum maksimal menangani persoalan Kelautan dan Perikanan dan tidak seiring dengan ide besar untuk menghadirkan negara untuk menyejahterakan nelayan. KNTI merupakan organisasi memfokuskan perhatian pada pemenuhan hak Asasi dari Nelayan Tradisional, Petambak Ikan dan Garam.
Terkait penilaian di atas, KNTI menyebutkan setidaknya lima poin yang membuat rapor pemerintah masih merah dalam sektor Kelautan dan Perikanan, yaitu:

Pertama, tiadanya upaya strategis untuk menyelesaikan kondisi wilayah stok perikanan yang mulai ‘memerah’ akibat eksploitasi berlebihan. Menurut KNTI, pada tahun 2016 potensi stok perikanan Indonesia meningkat menjadi 9.9 juta ton, dengan jumlah yang masih diperbolehkan 7,9 juta ton. Namun, tingkat eksploitasi sumber daya ikan di WWP RI tahun 2016 menunjukkan kondisi overfishing yang kritis. Penyebabnya adalah kebijakan membuka akses tanpa batas terhadap sistem pengawasan kapal perikanan (VMS, vessel monitoring system). Kebebasan akses data VMS dinilai menyulitkan pembatasan kapal ikan berskala besar terhadap sumber daya perikanan yang memiliki potensi tinggi.
Selain itu, penanganan kasus cantrang juga masih berlarut-larut dan terus berpolemik. Terakhir, Komnas HAM menerbitkan tiga rekomendasi untuk penyelesaian Cantrang tersebut, yaitu: (a) membentuk Tim kajian independen terhadap dampak cantrang; (b) membuka forum dialog dengan masyarakat terdampak pelarangan cantrang; (c) memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat nelayan yang terdampak.
Berikutnya, program strategis untuk membangun industri perikanan seperti revitalisasi galangan kapal nasional, dan upaya Pemberdayaan koperasi nelayan tidak diusulkan pemerintah dalam RKP 2018. Pada layanan asuransi nelayan, mekanisme pencairan asuransi yang masih rumit dan memerlukan pendampingan intensif kepada nelayan.
Pemerintah juga dinilai hanya berfokus pada pemberian kapal perikanan, namun mengabaikan aspek penting lainnya, yaitu akses permodalan. Berdasarkan survey terhadap 8.146 UMKM Perikanan, mayoritas masalah pengembangan usaha perikanan adalah: modal usaha 66%, pasar 13%, manajemen usaha 11 %, teknologi 5%, mitra usaha 3%, dan SDM 2%.
Catatan buruk terakhir KNTI terhadap pemerintah adalah, masih melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta tanpa proses yang benar, yang akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan wilayah pesisir Indonesia lainnya.
Enam Rekomendasi
Ketua DPP KNTI, Marthin Hadiwinata menyebutkan pihaknya mengusulkan enam rekomendasi sebagai bentuk komitmen KNTI tetap mendukung sektor Kelautan dan Perikanan, yaitu: Yang pertama, implemenasi sepenuhnya RPJMN 2015-2019 sesuai arah kebijakan dan strategi percepatan pembangunan ekonomi kelautan. Kedua, memastikan upaya strategis dalam perlindungan potensi dan stok sumber daya ikan yang berkelanjutan dengan memastikan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan perikanan.
Ketiga, memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam dengan implementasi UU No. 7 Tahun 2016. Keempat, penegakan hukum illegal fishing karena peledakan kapal dinilai tidak mampu menimbulan efek jera. Mengamankan dan merawat barang bukti (kapal, alat tangkap) agar nilai ekonominya bisa dipertahankan lebih tepat dan sesuai dengan RPJMN 2015-2019 dalam arah kebijakan IUUF (illegal, unreported, and unregulated fishing)
Memastikan hak-hak tenurial nelayan terlindungi dalam proses penyelesaian Peraturan Daerah mengenai RZWP3K di seluruh provinsi di Indonesia. Yang terakhir, secara khusus KNTI merekomendasikan Pemerintah untuk menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta, agar tidak menjadi preseden karena Jakarta merupakan barometer dalam pembangunan wilayah pesisir di Indonesia. [IA]