Home Artikel Hak Akses bagi Negara Tanpa Pantai (Land-Lock State) dalam Hukum Laut Internasional

Hak Akses bagi Negara Tanpa Pantai (Land-Lock State) dalam Hukum Laut Internasional

7533
0
SHARE

Oleh: Muhammad Dzar Azhari Muthahhar, S.H., LLM. Direktur Kajian Maritim Center Of Economic and Law Studies (CELIOS)

Topik land-lock State atau Negara Tanpa Pantai menjadi mengemuka menyusul berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan di medio Agustus 2021. Menjadi menarik karena dua karakter yang dimiliki Afghanistan, yaitu sebagai landlock state, dan sekaligus menjadi transit state bagi empat negara Asia Tengah Lainnya.

Oleh PBB, negara-negara land-lock diakomodir dalam United Nation on Law of The Sea (UNCLOS) 1982, pada Bagian ke-10 dengan judul “Hak atas akses bagi negara land-lock dari dan menuju laut dan kebebasan transit”. Bagian ke-10 ini terdiri dari 9 pasal, mulai pasal 124 hingga pasal 132.

Definisi

Ada empat istilah kunci yang perlu diketahui dalam memahami UNCLOS Bagian ke-10 ini, yaitu: Land-lock State, Transit State, Traffic in Transit, dan Means of Transport.

Suatu negara dapat dikatakan sebagai land-lock berdasarkan pasal 124 UNCLOS, jika, “Tidak memiliki pantai”. Adapun “Transit State” merujuk pada negara yang terletak di antara negara land-lock dan laut, dimana wilayahnya digunakan sebagai akses. Negara transit tersebut, ada yang memiliki laut (coastal state), dan ada yang berupa land-lock state.

Seperti yang sudah dikemukakan di atas, Afghanistan adalah land-lock state, yang memerlukan transit state (Iran atau Pakistan) sebagai akses ke Laut. Di saat bersamaan, Afghanistan menjadi “Transit State” bagi Uzbekistan, Kyrzygstan, Tajikistan, bahkan Kazakhtan, untuk menuju laut. (Lihat Gambar).

“Traffic in transit”, adalah transit atau lalu lintas orang, bagasi, barang, dan sarana pengangkut yang melintasi satu atau lebih negara transit, yang hanya menjadi bagian dari perjalanan lengkap yang dimulai atau berakhir di land-lock state. Sederhananya, barang dari negara land-lock tersebut hanya sekedar melintas, tidak dijual di negara transit.

“Means of transport”, alias sarana atau moda pengangkut. Pasal 124 UNCLOS menyebutkan gerbong kereta api, kendaraan laut, danau dan sungai,  kendaraan darat, bahkan hewan sebagai sarana angkut.

Contoh kasus kombinasi empat istilah di atas adalah: truk pengangkut barang ekspor dari Afghanistan berjalan melintasi daratan negara Pakistan menuju pelabuhan Gwadar (di Pakistan juga), untuk dikapalkan ke Indonesia.

Hak Akses Laut

Komunitas internasional sejak lama mengupayakan Hak Akses ke laut bagi negara-negara yang tidak memiliki pantai. Dasarnya adalah doktrin Mare Liberum oleh Hugo Grotius di tahun 1609: “high seas is to be used for everyone”.

Sebelum UNCLOS 1982, ada tiga konvensi internasional tentang hak akses ke laut, yaitu:

a) Convention and Statute on Freedom of Transit, 1921 (31 Oktober 1922; ditandatangani oleh 50 negara);

b) General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), 1947. GATT kedua tahun 1994 (1 Januari 1948; 150 negara anggota WTO);

c) Convention on Transit Trade of Land-Locked States, 1965 (9 Juni 1967; 38 negara);

UNCLOS 1982 merupakan kodifikasi hukum laut yang lengkap termasuk soal Hak Akses ke Laut, dan merupakan konvensi yang paling banyak didukung (155 negara). Tidak hanya soal akses, UNCLOS juga memberikan land-lock state hak atas sumber daya ikan di ZEE negara transit terdekat (Bagian V Tentang ZEE). Jadi, negara Laos misalnya, memiliki hak pemanfaatan ikan di ZEE negara Thailand dan Vietnam. Selain di Laut Lepas.

Kembali ke hak akses, pasal 125 UNCLOS menjelaskan, Ayat 1 “Negara tak berpantai (land-lock) memiliki hak untuk akses ke dan dari laut untuk keperluan melaksanakan hak yang ditentukan dalam Konvensi ini, termasuk hak yang berkenaan dengan kebebasan laut lepas dan warisan bersama umat manusia. Untuk keperluan ini, Negara tak berpantai berhak menikmati kebebasan transit melalui wilayah negara transit dengan menggunakan semua alat pengangkutan”.

Pemberikan hak akses di atas, dilakukan atas kesepakatan bersama negara transit dan negara land-lock yang terkait, melalui perjanjian bilateral, subregional, maupun regional (Ayat 2). Negara transit berhak menerapkan hal yang dianggap perlu untuk memastikan bahwa pemberian hak akses dimaksud tidak merugikan kedaulatannya. (Ayat 3).

Jadi, walaupun UNCLOS memberi Hak Akses namun tetap diperlukan adanya kesepakatan antar negara tersebut. Artinya, negara land-lock memerlukan hubungan yang baik dengan negara transit-nya.

Most Favoured Nation

Hal menarik pada bagian 10 UNCLOS 1982 adalah istilah “most-favoured-nation”. Istilah MFN ini lebih sering digunakan pada Organisasi dagang dunia atau World Trade Organization (WTO). MFN adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada negara-negara yang diberikan hak-hak khusus terutama dalam hal untuk menjamin tidak adanya tindakan diskriminatif dalam perdagangan.

Menghubungkan kembali pada pasal 126 UNCLOS 1982, dijelaskan,
“ketentuan konvensi ini, demikian pula persetujuan khusus yang berkenaan dengan pelaksanaan hak akses ke dan dari laut, yang menetapkan hak dan kemudahan yang disebabkan karena kedudukan geografis khusus negara tak berpantai dikecualikan dari berlakunya klausul “most-favoured-nation”.

Menurut Pasal I Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT), segala keuntungan atau keistimewaan yang diberikan oleh suatu negara untuk negara lain harus diberikan secara otomatis dan tanpa syarat kepada produk serupa yang berasal dari anggota-anggota WTO lainnya.

Artinya, pemberian akses dari negara transit kepada negara land-lock, tidak mewajibkan bagi negara transit tersebut untuk memberikan hak serupa kepada negara lainnya, yang bukan negara land-lock.

Pengecualian dalam klausul ”most-favoured-nation” ini menjadikan setiap negara land-lock untuk tetap tetap kembali kepada apa yang tercantum pada pasal 125, dimana UNCLOS membebankan kepada tiap-tiap negara untuk saling bersetuju dalam pemberian hak akses tersebut. Mengingat pemberian akses tersebut sangat terkait dengan kedaulatan negara transit.

Bebas Bea dan Non Diskriminatif

Karena yang diberikan adalah “hak” akses, maka tidak ada pengenaan bea pabean, pajak atau biaya lainnya terhadap pelaksanaan traffic in transit (Pasal 127 (1)). Kecuali layanan tertentu lainnya berdasarkan prinsip “no service no pay”.

Sebagai contoh, truk barang dari Afghanistan, saat berstatus “Traffic in transit”, tidak boleh dikenakan pajak atau bea masuk oleh Pakistan. Namun toll fee, biaya gudang, parkir, biaya bongkar muat dapat dikenakan karena termasuk layanan.

Selanjutnya, pasal 127 ayat 2 menyebutkan pengenaan tarif yang sama atas layanan kepada negara land-lock alias besaran tarif kepada pengguna negara land-lock sama dengan yang dikenakan kepada pengguna dalam negeri.

Misalnya, untuk jarak yang sama, setiap truk dikenakan tarif toll yang sama. Tidak ada perbedaan tarif jasa bongkar terhadap barang Afghanistan dan barang Pakistan, dan lain sebagainya.

Pasal 128 UNCLOS, menjamin kebebasan akses, dan kemudahan bea-cukai lainnya. Pasal 129 UNCLOS, menjamin kerjasama dalam pembangunan dan perbaikan alat pengankutan antara negara penerima dan pemberi akses. Pasal 130 UNCLOS, menjamin tindakan untuk mencegah atau meniadakan kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit. Pasal 131 UNCLOS, menjamin bagi negara-negara land-lock yang memiliki kapal berbendera negaranya, diperlakukan sama dengan negara berpantai.

Kemakmuran Bersama

Selain Afghanistan, Ethiopia juga berada dalam kondisi yang sama. Negara ini membutuhkan negara Djibouti untuk mengakses laut. Laos, satu-satunya negara land-lock di Asia Tenggara, menggunakan sungai Mekong sebagai akses menuju laut. Laos dan Thailand secara bilateral memiliki perjanjian dalam hal akses penggunaan sungai Mekong ini.

Hal serupa juga terjadi di Swiss. Selain menggunakan akses darat melalui Italia, Swiss juga menggunakan akses sungai di Jerman guna mencapai laut. Namun sebagai negara yang kaya, Swiss melalui perusahaan pelayaran MSC memiliki armada kapal yang masuk 3 besar dunia.

Sejarah telah mencatat beberapa negara land-lock memiliki kesulitan mengembangkan ekonomi negaranya. Hal ini disebabkan oleh karena hilang atau tidak adanya akses menuju laut, kemungkinan dagang dari negara landlock hanya terbatas pada negara-negara yang bersebelahan dengan mereka. Tidak jarang negara dengan kondisi landlock berupaya untuk mendapatkan akses menuju laut dengan cara berperang. Hal ini pernah terjadi pada negara Bolivia yang dimana akses negara ini menuju laut hilang karena kalah perang dari Peru dan Chili. Situasi ini kemudian menyebabkan perang yang bertambah panjang karena Bolivia pada saat itu kehilangan akses menuju perdagangan internasional.

Hal-hal yang diatur dalam UNCLOS 1982 bagi negara-negara landlock sejatinya merupakan solusi damai dalam mencapai kemakmuran bersama antara negara yang berdekatan yang saling membutuhkan. [AS]