Oleh: Dr. Ardian Nengkoda *)
Sudah tidak diragukan lagi, gas alam merupakan salah satu sumber energi yang ramah lingkungan. Tren penggunaannya meningkat dari tahun ke tahun termasuk untuk industri, bahan petrokimia, transportasi ataupun rumah tangga seiring dengan meningkatnya keperdulian akan lingkungan termasuk peruntukannya sebagai sumber daya tenaga listrik. Pada saat yang sama, jenis sumber hidrokarbon ini juga memainkan peranan penting dalam memenuhi permintaan energi yang ramah lingkungan.
Dalam laporan terbaru Pusat Informasi Energi Amerika (EIA) bulan Mei 2016 lalu tercatat bahwa konsumsi gas alam di seluruh dunia diproyeksikan meningkat tajam dari 120 triliun kaki kubik (Tcf) di tahun 2012 ke 203 Tcf pada tahun 2040 (Internasional Energi Outlook/ IEO 2016). Angka ini mensiratkan secara gamblang bahwa dibandingkan sumber energi lain, gas alam menyumbangkan peningkatan terbesar dalam konsumsi energi primer dunia. Dalam laporan IEO 2016 ini, secara spesifik, konsumsi gas alam untuk sektor listrik diperkirakan naik sebesar 2,2% / tahun. Sektor listrik baik untuk industri dan lainnya adalah penyerap 74% terbanyak dari kenaikan ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan data BP Statistics 2016 teranyar, konsumsi energi Indonesia secara umum naik sekitar 3.9% di tahun 2015, meningkat sekitar dua kali lipat sejak 15 tahun terakhir. Cadangan gas alam terbukti Indonesia mencapai skeitar 103 triliun kaki kubik. Beberapa cadangan gas alam di Indonesia tersebar baik di darat ataupun di laut, ada yang ekonomis, marjinal atau bahkan stranded. Yang marjinal dan stranded banyak yang belum dimanfaatkan karena dinilai tidak ekonomis, misalnya seperti gas dari lapangan dengan cadangan kecil (<10 MMSCFD), gas ikutan dari sumur minyak dan gas flare.
Solusi Gas to Power
Menurut data ESDM, sekitar 70% cadangan Migas Indonesia terdapat di cekungan-cekungan tersier lepas pantai (laut) dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam. Kurang lebih ada sekitar 36 perusahaan minyak di Wilayah Kerja (WK) lepas pantai yang melaksanakan eksplorasi serta aktifitas operasinya di lepas pantai sehingga jika kita mengacu pada pendapatan negara dari sektor Migas, hampir sepertiga hasil minyak dan gas bumi diperoleh dari ladang-ladang minyak dan gas bumi di lepas pantai. Menurut Litbang ESDM pula, pada tahun 2016 telah terindikasi potensi 66 cekungan migas di seluruh Indonesia beberapa diantaranya ada di laut dangkal.
Namun state-of-the-art teknologi yang tersedia untuk mengkomersilkan gas marginal dengan kandungan H2S/CO2 yang tinggi serta berkalori rendah (low BTU) tidak lah begitu banyak. Dengan volume serta kualitas gas alam selalu bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya ditambah pula lokasi-nya yang dilaut, ditambah lagi kandungan H2S/CO2 yang tinggi, serta terhampar jauh dari pusat Industri, oleh karena itu harga gas bisa menjadi lebih mahal untuk transportasinya saja.
Dalam beberapa kasus, biaya untuk mengangkut energi dalam bentuk gas secara signifikan lebih besar daripada minyak, sehingga cadangan marjinal serta transportasi adalah salah satu kendala bagaimana meningkatkan penggunaan gas serta pemanfaatannya yang optimal. Disinilah wacana transformasi rantai nilai untuk lapangan has marjinal di laut menjadi penting dan layak.
Di banyak negara, penggunaan gas marjinal untuk listrik memiliki keuntungan utama, termasuk kecepatan pembangunan, akses ke pasokan gas baru, belanja modal (CAPEX) yang lebih rendah, fleksibilitas yang lebih tinggi untuk mendukung ekspansi energi terbarukan (energi mix), memenuhi kebutuhan listrik lokal serta meningkatkan daya saing harga. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pantai serta pembentukan komunitas baru masyarakat di bibir pantai yang dapat dialiri listrik serta penyediaan cooling box dan container pendingin ikan dari pemanfaatan marjinal gas, alternatif gas to power akan sangat menarik.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, tantangan dalam mengembangkan lapangan gas marjinal atau BTU rendah adalah bagaimana menghubungkan kebutuhan gas dan pasokan pada waktu yang sama dan bertemu secara geografis untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lokal. Tanpa adanya permintaan serta kebutuhan gas lokal tentu akan sulit untuk mengembangkan pasokan gas dan sebaliknya, tanpa adanya pasokan listrik untuk kebutuhan masyarakat pesisir, pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat akan lambat berkembang.
Daerah yang belum banyak teraliri listrik adalah daerah pesisir. Masyarakat pesisir yang tinggal di pinggir-pinggir pulau, sangatlah jauh dari pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN. Pun kita memiliki sekitar 13.000 pulau. Sangat disayangkan bahwa negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia, namun wilayah pantainya belum dapat teraliri listrik dengan baik. Strategi gas to power untuk masyarakat pesisir dapat mendukung program nawacita pemerintah.
Teknologi yang paling umum (Gambar 1) untuk menghasilkan listrik dari gas alam adalah menggunakan turbin gas generator (GTGs), baik dengan siklus-sederhana atau konfigurasi siklus gabungan. Pembangkit listrik berbasis gas-turbin telah terbukti berbiaya rendah. Model konsep modular plant serta kontrak IPP (independent power project) juga dapat menarik investor.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah pemerintah serius dengan program nawacita nya dan mengangkat potensi maritim? Apakah cetak biru infrastruktur gas nasional mampu meningkatkan perekonomian maritim dan masyarakat pesisir?. **
*) Pemerhati ketahanan energi, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Timur Tengah. WNI dan tinggal di Arab Saudi