JMOL. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), menggelar Policy Dialogue Series (PDS) di Jakarta (9/08/2017). Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business, EoDB) di Indonesia.
Peringkat EoDB Indonesia meningkat dari posisi 106 (2016) menjadi 91 dunia tahun 2017 ini. Namun, peringkat tersebut masih paling rendah dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Presiden Joko Widodo menargetkan peringkat ke-40 dalam survei EODB berikutnya.
Survei EODB dilakukan oleh Bank Dunia terhadap 189 negara. untuk menilai aturanaturan
terhadap kegiatan berbisnis di suatu
negara/kota/regional. Mencakup 10 Indikator yang mempengaruhi kemudahan berusaha di suatu negara. Di Indonesia, Trading Across Border merupakan salah satu dari 10 indikator yang masih berada pada peringkat di atas 100, bersama indikator lainnya yaitu Starting a Business, Dealing with Construction Permits, Registering Property, Paying Taxes, dan Enforcing Contract. Peringkat Trading Across Border Indonesia kini berada di posisi 108, meningkat dari posisi 113 di tahun 2016. Padahal pada tahun 2015, indikator Trading Across Border Indonesia berada pada peringkat 105.
Untuk kali, PDS memilih topik “Dwelling Time dan Proses Pre-Clearance”. Bermaksud untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pre-clearance masih mendominasi lamanya Dwelling Time di Indonesia. Seperti diketahui, perbaikan pada Pre Clearance (dan akhirnya Dwelling Time) mempengaruhi indikator Trading Across Border, dan selanjutnya berkontribusi positif pada perbaikan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia.
Pre-Clearance Masih Dominan
Dwelling Time didefinisikan sebagai waktu yang dihitung sejak container barang impor dibongkar sampai dengan container tersebut dikeluarkan dari Pelabuhan. Dwelling Time terbagi menjadi 3 (tiga) komponen, yaitu Pre-Customs Clearance, Customs Clearance, dan PostCustoms Clearance.
Pre-Customs Clearance adalah waktu yang diperlukan sejak peti kemas dibongkar dari kapal sampai dengan importir melakukan submit Pemberitahuan Impor Barang (PIB) ke Bea Cukai. Customs Clearance adalah waktu yang dibutuhkan dari sejak PIB diterima sampai dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) oleh Bea Cukai. Sedangkan Post-Customs Clearance adalah waktu yang dibutuhkan dari sejak SPPB sampai dengan pengeluaran barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara (Ditjen Bea Cukai, 2015).
Komponen Pre-clearance masih mendominasi total Dwelling Time. Proses ini melibatkan 18 instansi kementerian/non-kementerian yang mengeluarkan perijinan terkait dengan kegiatan ekspor-impor, khususnya untuk produk-produk yang termasuk dalam Lartas (Larangan dan Pembatasan).
Data Jakarta International Container Terminal (JICT) menunjukkan bahwa Dwelling Time semakin membaik dari tahun ke tahun. Selama tahun 2012 Dwelling Time di Indonesia 6.2 hari, sempat memburuk menjadi 7.9 hari pada Januari-Agustus 2013. Kembali membaik di tahun 2014 menjadi 5,19 hari. Pada tahun 2015 dan 2016, waktu yang ditempuh juga semakin baik berturut-turut menjadi 4,45 hari dan 3,47 hari. Data dari APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menunjukkan waktu Dwelling Time kembali meningkat pada tahun 2017. Pada semester pertama, Dwelling Time kembali menjadi 3,5 hari, padahal pada tahun lalu (2016) waktu mampu ditekan menjadi 2,9 hari.
Dwelling Time kita relatif masih lebih lama dibanding negara-negara lain khususnya di ASEAN. Dwelling Time Indonesia sedikit lebih buruk dari Malaysia yang mencapai 3 hari, namun jauh tertinggal dari Singapura yang hanya memakan waktu 1,5 hari. Pemerintah secara spesifik menargetkan Dwelling Time di Indonesia turun menjadi 2 hari.
Hasil penelitian Bank Dunia (2012) menunjukkan bahwa waktu proses pre-clearance berkontribusi sebesar 50%-60% dari total Dwelling Time pada tahun 2012. Artinya, jika total Dwelling Time adalah 6,2 hari, maka 3,1 hari dihabiskan untuk pre-clearance. Data JITC pada tahun 2015 menunjukkan hal yang sama, yaitu pre-clearance masih berkontribusi lebih dari 55% terhadap Dwelling Time Indonesia. Sementara custom clearance hanya berkontribusi sebesar 11% dan post-clearance sebesar 34%.
Karena besarnya kontribusi Pre Clearance terhadap total dwelling time, ditambah keterkaitan 18 K/L, maka sangat diperlukan upaya serius dan terkoordinasi untuk memperbaiki tahapan ini.
Perbedaan Data Dwelling Time
Meskipun peringkat EODB tahun 2017 sudah bertambah baik, namun pelaku usaha masih belum puas dengan kinerja Dwelling Time Indonesia. Dalam pemaparannya pada forum PDS kemarin, APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menyampaikan sejumlah usulan perbaikan Dwelling Time. Ketua Umum APINDO, Benny Sutrisno menyebutkan bahwa tahapan pre-clearance dan custom clearance belum dibenahi secara cepat dan sempurna.
Menurut APINDO, Pemerintah semestinya tidak bergantung pada data Dwelling Time dari Pelindo II. Hal itu karena sering terdapat perbedaan data dari kondisi riil di lapangan. Pelindo II mengklaim Dwelling Time 2,7 hari, sedangkan kenyataannya mencapai 3,9 hari. APINDO menyarankan agar Pemerintah menggunakan data yang valid dari Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok sebagai lembaga yang netral.
Menurut APINDO, kesalahan data tersebut karena hanya melihat pergerakan fisik peti kemas atau kontainer. Peraturan waktu inap maksimal 3 hari (long stay) di lini 1 pelabuhan telah memaksa pemindahan terhadap petikemas yang long stay tersebut, padahal dokumen impornya belum beres. Akibat dari kesalahan penggunaan data tersebut, Presiden pun kerap salah dalam menilai persoalan Dwelling Time.
Buffer Area
Angka dwelling time akan turun, jika petikemas yang sudah memperoleh Clearance dapat dikeluarkan dari pelabuhan secepat mungkin. JIka hanya digeser ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) maka belum dapat dikatakan Dwelling Time selesai. Menggeser kontainer ke TPS juga akan menambah biaya logistik. APINDO mengusulkan Clearance dapat dilakukan di tempat tujuan akhir kontainer, tidak di pelabuhan atau TPS.
Cara lain yang diusulkan APINDO adalah penggunaan Buffer Area, yang berfungsi menampung peti kemas impor yang sudah memperoleh SPPB oleh Bea Cukai namun belum diambil pemiliknya. Relokasi atau perpindahan peti kemas impor dari kawasan lini satu pelabuhan ke buffer area lebih efektif dalam menekan Dwelling Time, khususnya pada tahapan post custom clearance.
INSW dan Jalur Pemeriksaan Barang
Dengan hadirnya INSW (Indonesia National Single Window), diakui pengurusan dokumen impor sudah mengalami perbaikan. INSW semestinya didukung oleh seluruh Kementerian terkait, sehingga berbagai prosedur terkait LarTas dapat diselesaikan dengan cepat di pelabuhan tujuan dan menekan waktu Dwelling Time. Terkait INSW ini, APINDO mengusulkan agar kontainer yang sudah menjalani proses pengecekan dokumen pre-clearance secara elektronik, tidak perlu lagi menjadi proses post clearance oleh Bea Cukai.
INSW adalah sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision-making for custom release and clearance of cargoes).
Saat ini, terdapat tiga jalur pemeriksaan barang di pelabuhan, yaitu Jalur Prioritas (MITA), Jalur Hijau dan Jalur Merah. APINDO berharap agar perusahaan yang masuk Jalur Prioritas dan Jalur Hijau ditambah.
Jalur Kuning diusulkan dihapus karena dianggap sia-sia. Alasannya, jalur kuning hanya istilah dan faktanya barang-barang justru masih banyak yang berada di gudang. Akan lebih baik cukup dengan dua jalur, yakni Jalur Merah dan Jalur Hijau. Itu pun Jalur Hijau masih harus memakan waktu hingga 1,5 hari bagi barang agar bisa keluar dari gudang.
Agar dapat mempercepat pemeriksaan di Pelabuhan Tanjung Priok, APINDO meminta agar pemeriksaan barang perusahaan-perusahaan besar dan tepercaya bisa dilakukan di pabrik masing-masing. Hal ini dikarenakan bila seluruh barang yang masuk ke pelabuhan masuk ke Jalur Merah, justru akan memakan waktu tunggu yang lebih lama. APINDO juga menyarankan agar Pemerintah melakukan pengaturan sehingga perusahaan besar atau multinasional tidak perlu masuk ke Jalur Merah, tetapi langsung ke Jalur Hijau dan Jalur Prioritas.
Untuk saat ini, sebagian besar perusahaan masih masuk Jalur Merah. Yang masuk Jalur Hijau dan Prioritas hanya sekitar 130 perusahaan, padahal seharusnya bisa ditambah menjadi sekitar seribuan perusahaan. Kurang lebih sekitar 80% perusahaan yang melalui Pelabuhan Tanjung Priok yang hanya bisa melalui Jalur Hijau dan Jalur Prioritas. APINDO berharap agar 80% perusahaan dipermudah dengan bisa masuk Jalur Hijau dan Prioritas.
APINDO meminta agar pemerintah menambah jumlah pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak bisa lagi menampung seluruh perdagangan dan tida mampu lagi memonopoli perannya sebagai pelabuhan ekspor sekaligus impor. [AS]