Home Artikel Pelabuhan Transhipment dan Prospeknya di Selat Malaka

Pelabuhan Transhipment dan Prospeknya di Selat Malaka

11123
2
SHARE

Kalangan publik di Indonesia, pada sekitar dua tahun lalu, istilah “transhipment” lebih sering terdengar pada sektor perikanan tangkap, dibanding pada sektor logistik dan kepelabuhanan. Transhipment adalah aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan barang dan alat angkut. Mudahnya disebut alih muatan dari kapal yang satu ke kapal lainnya, baik secara langsung (ship-to-ship) maupun melalui tempat penyimpan sementara (temporary storage).

Dalam dunia pelayaran, transhipment (kadang ditulis: transshipment) pada awalnya diterapkan pada pelabuhan yang karena keterbatasan teknisnya tidak dapat disandari atau melayani kapal yang berukuran besar. Sehingga, muatan (kargo) terlebih dahulu diangkut menggunakan kapal berukuran kecil untuk kemudian dialihkan ke kapal yang lebih besar. Praktek seperti ini sering ditemukan pada pengapalan batu bara di Indonesia. Untuk mengekspor Batu bara dari Kalimantan Timur misalnya, batu bara diangkut menggunakan tongkang (barge) dari dermaga sungai (yang draft rendah) untuk dipindahkan ke kapal yang lebih besar (umumnya Bulk Carrier kapasitas di atas 40 ribu ton) yang berlabuh di lepas pantai.

Dalam perkembangan selanjutnya, perdagangan global yang semakin meningkat dan meluas, telah mendorong tumbuhnya aktivitas pelayaran secara masif, rantai distribusi semakin luas dan kompleks. Transhipment kemudian berkembang menjadi strategi untuk mencapai efisiensi dan memperluas cakupan layanan. Pada tahun 2012 volume kargo (peti kemas) transhipment mencapai 28% dari seluruh arus peti kemas dunia, meningkat dua kali lipat dibanding 20 tahun yang lalu.

Asaf Ashar, seorang pakar logistik dan transportasi asal Amerika Serikat, menyebutkan bahwa transhipment adalah revolusi ketiga dari pelayaran kontainer. Kelanjutan dari containerization dan intermodalsm sebagai revolusi yang pertama dan kedua. Asaf memperkenalkan revolusi ke-4 yang diberi nama Global Grid sebagai masa depan dunia pelayaran kontainer.

Tipologi dan Level Transhipment

Transhipment Hub adalah sebuah tempat (dalam hal ini pelabuhan) yang menjadi pusat kegiatan transhipment. Transhipment hub dan transhipment port memiliki pengertian yang sama.

Gambar 1: Peta Transhipment Hub (Researchgate.net)

Posisi geografis menjadi aspek utama dalam menetapkan lokasi transhipment hub. Dari peta pelayaran dunia yang ada saat ini (gambar 1), terlihat bahwa transhipment hub berada di persimpangan rute pelayaran, dan berada dekat choke point (selat atau kanal/terusan) internasional di sepanjang rute utama pelayaran dunia: panama, selat Malaka, Giblatar dan terusan Suez.

Transhipment hub memiliki simpangan maritim (jarak dari jalur pelayaran utama yang kecil dan menjadi pertemuan antara jalur pelayaran utara-selatan dan timur-barat. (Gambar 1)

Arus kargo (total) yang melewati suatu pelabuhan terdiri atas “gateway cargo” dan “transhipment cargo”. Gateway cargo adalah kargo yang terkait dengan hinterland pelabuhan yang bersangkutan. Level transhipment pelabuhan berbanding lurus dengan frekuensi aktivitas transhipment dalam jangka waktu tertentu. Atau perbandingan antara volume arus transhipment cargo dibanding total volume arus kargo di pelabuhan tersebut. (gambar 2).

Gambar 2: Level Transhipment (ResearchGate.net)

Pelabuhan dengan level transhipment rendah (kurang dari 25%), menandakan transhipment bukan merupakan aktivitas utama. Sebaliknya, pelabuhan yang memiliki level transhipment di atas 75% dapat dianggap sebagai pelabuhan transhipment. Pada level transhipment mencapai di atas 80%, sebuah pelabuhan dapat disebut sebagai

Gambar 3: Model Transhipment (asafashar.com)

pelabuhan transshipment murni (pure transhipment port)

Berdasarkan tipologinya, transhipment terdiri atas tiga jenis , yaitu Hub and Spoke; Intersection, dan Relay. (Gambar 3). Model Hub and Spoke merupakan model yang paling dominan ditemui, populasinya hingga 85% (gambar 3).

Dedicated Berth

Kebutuhan akan transhipment telah menumbuhkan jasa transhipment di sektor kepelabuhanan. Beberapa pelabuhan sudah kita kenal sebagai transhipment hub. Terjadinya persaingan memperebutkan kargo transhipment merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan jika terdapat dua atau lebih pelabuhan di kawasan yang sama.

Yang paling fenomenal adalah ‘perang’ antara Pelabuhan Singapura (PS) dan Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) di Malaysia. Disebut ‘perang’ karena keduanya berada dalam kawasan yang sama, yaitu Asia Tenggara dan choke point internasional Selat Malaka. Dedicated berth merupakan salah satu hikmah yang dapat dipetik dari persaingan tersebut.

Strategi dedicated berth maksudnya adalah pengelolaan pelabuhan dengan sistem landlord, dimana pengusahaan terminal melibatkan pihak lain (perusahaan pelayaran) melalui konsesi atau kerjasama. Pengelola pelabuhan mengajak perusahaan pelayaran untuk berinvestasi dan mengelola dermaga atau terminal.

Bagi perusahaan pelayaran, tawaran ini menarik karena memperbesar portofolio investasi, memiliki fleksibilitas dalam deployment armada, dan kendali pelayanan barang (bongkar muat dan penyimpanan). Perusahaan pelayaran umumnya memiliki kemampuan bongkar muat dan mengelola terminal. Bahkan beberapa perusahaan pelayaran yang memiliki usaha terminal yang terpisah secara manajemen, walau dalam kepemilikan yang sama.

Sejak PTP beroperasi di tahun 1999 hingga 2002, dunia pelayaran telah menyaksikan persaingan keras PTP dan PS. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, PTP berhasil merebut dua pelanggan besar PS, yakni Maerks Line dan Evergreen. Tawaran konsesi pengelolaan terminal dari PTP membuat keduanya akhirnya memindahkan pusat transhipmentnya dari PS ke PTP.

Shifted tersebut sempat membuat PSA (pengelola PS) limbung dan terpaksa melakukan upaya bertahan melalui pemangkasan tarif terminal serta -termasuk- akhirnya juga menerapkan dedicated berth. Mengubah perannya dari operating port menjadi hybrid operating port dan landlord. Perang PS dan PTP juga memperlihatkan bahwa dalam persaingan memperebutkan kargo transhipment, pihak pelayaran memiliki daya tawar yang tinggi.

Tantangan Kuala Tanjung

Gambar 4: Peta Transhipment di Selat Malaka (Kemenhub)

Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun Pemerintah Indonesia melalui penugasan kepada Pelindo 1 (BUMN). Ambisinya, pada tahun 2042 total throughput mencapai 20 juta ton cargo liquid dan 6 juta TEU kontainer. Kuala Tanjung juga juga berambisi menggeser peti kemas ekspor impor Indonesia yang selama ini melalui PS, PTP, dan Port Klang, yang bagi ketiganya dihitung sebagai kargo transhipment.

Dalam skenario pengembangan Kuala Tanjung yang diperoleh Jurnal Maritim, pelabuhan yang terletak di pesisir timur Simatera Utara tersebut akan menerapkan dedicated berth, menggandeng operator pelayaran besar dalam mengoperasikan terminal. Pelindo 1 juga disebut akan menggandeng Port of Rotterdam yang berpengalaman mengelola transhipment hub di Eropa utara.

Namun, belajar dari ‘perang’ perebutan kargo transhipment, tiga pelabuhan di Selat Malaka (PS, PTP dan Port Klang) masing-masing kini mengembangkan kawasan industri yang terintegrasi sebagai hinterland. Tujuan mereka memperbesar porsi kargo gateway, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap kargo transhipment. Ini sekaligus menghindari persaingan perebutan kargo transhipment yang berdarah-darah.

Dengan ambisi kapasitas hingga 60 juta TEU, PSA memgembangkan terminal Tuas, mengajak CMA CGM dan membujuk Maerks Line. Port Klang dan PTP menambah kapasitas terminal dan membangun kawasan Industri untuk captive hinterlandnya.

Saat ini, throughput Port Klang terdiri atas 69% kargo transhipment dan 31% kargo gateway, sedangkan Pelabuhan Singapura memiliki porsi 85% kargo transhipment dan 15% kargo gateway. PTP adalah pengecualian, karena sejak awal direncanakan sebagai pelabuhan transhipment murni, porsi kargo transhipment-nya mencapai 94%.

Dengan proyeksi pada tahun 2030 arus peti kemas yang melewati selat Malaka mencapai sebesar 100 juta TEU, masih adakah peluang bagi transhipment port baru seperti Kuala Tanjung atau Batam?. Apa strategi keduanya? Semoga kami dapat mengulasnya pada tulisan berikutnya. [AF, AS]

2 COMMENTS

  1. Saya lebih berkeyakinan pelabuhan peti kemas teluk dalam yg terletak di kecamatan sinaboi kabupaten rokan hilir privinsi riau mampu menyerap peluang 100 jt teu tsb. Lokasinya sangat dekat ke port klang, ke ptp dan ke ps sendiri. Ada beberapa industri penopang dpt diandalkan seperti cpo dan industri bio diesel dari tanaman nipah di hutan bakau. Blm lagi industri lain seperti kapal keruk lumpur sungai rokan penyebab sedimentasi dan pendangkakan laut di sbagian pantai timur sumatera yg membentang di provinsi riau. Industri pengolahan kilang minyak pada ladng minyak rokan blok yg pada 2021 resmi pengelolaannya oleh pertamina yg selama ini dikelola sepenuhnya oleh pt chevron. Sungguh banyak industri andalan yg jadi penopang bila pelabuhan peti kemas tsb bisa dibangun oleh pelindo di teluk dalam. Kekayaan alam di rokan hilir bagansiapiapi dgn hasil lautnya jg tdk kalah menarik bisa dikembangkan. Satu hal lagi industri pariwisata pantai pasir putih dan terumbu karang di pulau jemur jg merupakan potensi besar yg bisa diserap oleh pasar regional dan global. Dengan terealisasinya jalan tol dumai pekanbaru maka tinggal ruas tol bagansiapiapi -dumai dan ruas bagansiapiapu-tanjung balai asahan sumatera uttara maka dipastikan tol trans sumatera dan terkoneksi sepenuhnya di lintas darat, laut dan udara nantibya, semoga..

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.