Delapan penyelam dan dua dokter pengangkat jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya mendapat undangan istimewa dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara hari Kamis, (1/10/15). Kompi Intai Para Amfibi (Kipam) KKO AL (sekarang Korps Marinir TNI AL) dipimpin Kapten KKO Winanto adalah satuan yang mengangkat 7 jenazah Pahlawan Revolusi.
Sebelum menghadap Presiden, para pelaku sejarah itu menceritakan kisah di tahun 1965 tersebut kepada dari Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal). Dua anggota Kompi Taifib KKO Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin menuturkan pengalaman saat mengangkat jenazah 6 Jenderal dan 1 perwira TNI AD dari sebuah sumur tua Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965. Berikut kisahnya.
“Sejak bulan Juli 1965 kami sudah menyiapkan latihan untuk acara Hari ABRI pada tanggal 5 Oktober. Waktu itu kami singgah di tenda-tenda pleton daerah Ancol, Tanjung Priok untuk terus mengikuti latihan persiapan peringatan. Namun menjelang tanggal 30 September, tentara yang datang ke Jakarta semakin banyak. Saya juga heran ada apa ini?” terang Pelda KKO EJ Venkandou.
Menurut Venkandou, jelang malam naas tersebut memang banyak seruan untuk kesatuan-kesatuan agar segera menggabungkan diri dalam menyelamatkan Presiden Sukarno dari sekelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
“Janji dari orang yang mengajak saat itu ialah kenaikan pangkat sampai Letnan Dua bagi personel yang masih berpangkat kopral atau sersan. Tetapi kami ditarik ke Kormar oleh komandan kami,” ungkapnya.
Pada malam 30 September 1965, keduanya sempat mendengar siaran Radio yang dibacakan oleh Letkol Untung Syamsuri sebagai pemimpin Dewan Revolusi mengenai adanya revolusi untuk penyelamatan Presiden Sukarno.
Baru pada 3 Oktober malam, Kapten Sukendar dari Kostrad datang ke Kormar menemui Letnan Mizwan mengenai permintaan bantuan untuk mengangkat jenazah Jenderal yang telah ditemukan di Lubang Buaya setelah dinyatakan hilang sejak 1 Oktober 1965.
“Kapten Sukendar memiliki pengalaman di Yogyakarta saat menolong orang yang keracunan di sumur. Waktu itu Pak Sukendar mencoba mengangkat jenazah itu hanya menggunakan masker pasukan anti huru-hara namun ternyata tidak kuat dengan baunya, karena jenazah sudah 3 hari,” papar Venkandou.
Kapten Sukendar akhirnya meminta ijin kepada Pangkostrad Mayjen Suharto untuk mencari satuan yang mampu mengangkat jenazah tersebut. Akhirnya pilihan jatuh kepada KKO.
“Letnan Mizwan menyanggupi permintaan tersebut, namun harus terlebih dahulu mengambil peralatan selam di Tanjung Priok. Akhirnya, baru pada subuh hari kami bisa bergerak dari Kormar menuju Halim Perdanakusuma,” kenang Venkandou.
Tiba di Halim Perdanakusuma, tidak ada yang menngetahui dimana letak Lubang Buaya, termasuk petugas AU sendiri.
“Kita menunggu agak lama di situ, sampai akhirnya ada dua orang polisi AU dengan sepeda motor menghampiri dan bertanya: mau ke Lubang Buaya?, ‘iya’, jawab kami. Mereka kemudian mengantar kami menyusuri jalan setapak saat itu,” tuturnya.
Sesampainya di Lubang Buaya, lokasi tersebut dijaga oleh pasukan RPKAD dan romboingan tidak dijinkan masuk karena kawasan tersebut dinyatakan steril dan perlu penjagaan yang ketat. Selain itu, mereka juga tidak dilengkapi surat tugas karena tidak sempat mengurusnya mengingat kondisi yang begitu genting saat itu. Kompi Intai Para Amfibi KKO AL tersebut terpaksa menunggu selama sekitar 2 jam di sekitar kebun karet Lubang Buaya.
“Hingga akhirnya rombongan Pak Harto tiba bersama Pak Sukendar. Pak Sukendar memperkenalkan kami kepada Pak Harto dan katanya langsung tinjau sumurnya. Sesampainya kami di sumur, pasukan RPKAD sudah berada di dekat sumur dan siap melakukan penyelaman,” cerita Venkandou.
Anggota RPKAD Kopral Anang masuk terlebih dahulu dan berhasil mengangkat jenazah Lettu Pierre Tendean (ajudan Jenderal AH Nasution yang menjadi korban).
“RPKAD pernah berlatih di Dislambar Surabaya, jadi mereka sudah mengetahui penyelaman. Setelah jenazah pertama selesai diangkat, kami melanjutkan pengangkatan 6 jenazah berikutnya,” jelas Venkandou.
Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi itu berhasil diangkat seluruhnya dan dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk dilakukan autopsi.
Selesai pengangkatan, nama-nama Kompi Intai Para Amfibi seperti Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin bak hilang ditelan bumi. Namun bagi keduanya, prajurit KKO yang sapta margais, menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa dan negara, sudah merupakan suatu kebanggaan.
Hari itu, Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin mewakili rekan-rekannya yang tidak dapat hadir, mendapat keistimewaan dijamu Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Jasa mereka diganjar penghargaan yang setimpal. [Adityo. Arsip Jurnal Maritim 2015]
Titip pesan untuk Om Kandouw Red:
Tanggal 7 Okt. beliau ada mampir ke kediaman kami di Solo. Ada apa ya? (Ket. Kami keluarga dari salah satu anggota tim pengangkat jenazah pahlawan revolusi)