Home Artikel Kebakaran Masif Armada Kapal Ikan Kembali Terjadi, Perlu Evaluasi Total

Kebakaran Masif Armada Kapal Ikan Kembali Terjadi, Perlu Evaluasi Total

1971
1
SHARE

JMOL. Penyebab (resmi) terbakarnya 34 kapal ikan pada Sabtu (23/2) di Pelabuhan perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru Jakarta Utara memang masih menunggu hasil penyelidikan pihak Kepolisian. Kebakaran puluhan kapal ikan di Muara Baru dilaporkan terjadi mulai sekitar pukul 15 WIB, dan baru berhasil dipadamkan 15 jam kemudian. Tidak ada korban jiwa.

Paska api padam, pihak Hubla mengerahkan kapal Patroli KPLP KNP. Jembio melakukan pemantauan perairan di sekitar pelabuhan Muara Baru. Dilaporkan, setidaknya ada 8 bangkai kapal yang hanyut keluar dari kolam pelabuhan Muara Baru ke arah laut lepas. Sementara di kolam pelabuhan, masih ditemukan tumpahan minyak di beberapa titik, dan puing-puing sisa kapal ikan yang terbakar. Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok mengeluarkan Notice to Mariner, untuk mengingatkan para nakhoda kapal yang menuju dan dari pelabuhan Tanjung Priok.

Kejadian Berulang

Insiden terbakarnya kapal ikan dalam jumlah banyak di pelabuhan bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pada 9 April 2018 lalu, kebakaran yang terjadi di Dermaga Barat Pelabuhan Benoa (Bali) menghanguskan 38 unit kapal ikan. Kebakaran dimulai pada pukul 02.00 Wita, dan baru berhasil dipadamkan 12 jam sesudahnya. Penyebab timbulnya api adalah konsleting listrik dari mesin genset.

Insiden Benoa dan Muara Baru memiliki kesamaan. Yaitu terjadi di pelabuhan, saat kapal bersandar bukan saat berlayar. Melibatkan puluhan kapal ikan. Pemadaman berlangsung lama hingga belasan jam.

Di Benoa, dari 38 unit kapal ikan yang terbakar, hanya 8 unit kapal berstatus aktif atau masih beroperasi, dan 30 unit kapal sudah tidak beroperasi. Kapal berstatus aktif adalah kapal yang siap berangkat dan memiliki kru kapal lengkap, perbekalan siap, dan perijinan lengkap. Sedangkan kapal pasif adalah kapal yang hanya diawaki penjaga saja, tidak ada perbekalan, dan sedang menunggu perijinan atau dalam perbaikan. Pada kasus di Muara Baru, diperoleh informasi bahwa ada 10 kapal ikan ilegal yang ikut terbakar.

Kapal ikan yang bersandar di Benoa dan Muara Baru umumnya adalah kapal ikan tonase besar, di atas 30 gt. Pemilik kapal adalah usaha perikanan tangkap yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Kerugian akibat kebakaran kapal di Benoa dan Muara Baru, secara terpisah, diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Dari aspek kepelabuhanan, Benoa dikelola oleh Pelindo III, yang terdiri atas dermaga kapal pesiar, penumpang, barang, dan perikanan. Menurut pihak Pelindo III, dermaga barat yang merupakan lokasi terbakarnya kapal ikan, disubkelola oleh pihak pelayaran rakyat. Institusi negara yang bertanggung jawab di pelabuhan Benoa adalah KSOP Benoa, yang merupakan perpanjangan tangan Kemenhub RI.

Sementara, Pelabuhan Nizam Zachman di Muara Baru adalah pelabuhan khusus perikanan. Merujuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muara Baru termasuk kategori PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera), dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan type A, atau kelas I. Pengelola Muara Baru adalah PT Perindo (Perikanan Indonesia), BUMN di sektor perikanan. Institusi negara yang bertanggung jawab di pelabuhan Benoa adalah Syahbandar Perikanan yang merupakan perpanjangan tangan KKP.

Kontribusi Banyak Pihak

Menurut DR. Saut Gurning dari ITS, kecelakaan termasuk kebakaran kapal ikan di Pelabuhan pada umumnya merupakan kontribusi dari banyak pihak. Mulai dari pemilik kapal termasuk awak kapal, operator pelabuhan, syahbandar, termasuk secara luas kementerian terkait, dalam hal ini KKP dan Kemenhub.

Dalam kasus di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Saut menyebutkan kontribusi banyak pihak tersebut jelas terbukti. Berdasarkan kronologis peristiwa yang diperoleh, api berawal dari adanya pekerjaan hot-works di atas sebuah kapal. Yang kemudian karena kesalahan prosedur pekerjaan tersebut menimbulkan api yang membesar yang tidak mampu dikendalikan akibat kurang atau tidak tersedianya peralatan pemadam kebakaran (fire-distinguisher) di atas kapal. Termasuk mungkin kurangnya kompetensi awak kapal dalam melaksanakan respon standar dari kejadian kebakaran di atas kapal.

Selanjutnya, kebakaran di satu kapal penyulut api kemudian menjalar ke berbagai puluhan kapal ikan sekitarnya, akibat sistem sandar berjajar (siring) yang seharusnya dikelola atau diatur kurang dari tiga jajar agar kapal dapat lebih mudah bermanuver menghindari kapal yang tersulut api.

Api yang sudah saling menjalar di puluhan armada kapal membuat usaha pemadaman api dari berbagai pihak menjadi tidak berdaya guna. Ini bisa jadi disebabkan tidak handalnya peralatan pemadam kebakaran, baik kendaraan pemadam atau kapal tunda pemadam kebakaran (fire boat), termasuk fluida pemadaman api yang biasanya dipilih khusus untuk lebih mempercepat proses pemadaman api.

Di luar faktor di atas, menurut Saut, ada faktor lain yang serupa dengan kasus di Benoa, yaitu gejala kapal laid-up, bersandar di pelabuhan, sebagai akibat dampak kebijakan moratorium pemerintah. Sehingga wilayah sandar kapal ikan di sejumlah pelabuhan menjadi terbatas. Perlu dipertimbangkan lokasi khusus bagi armada kapal laid-up yang terimbas moratorium pemerintah tersebut.

Oleh karena itu, penyelidikan tidak boleh berhenti hanya pada penyebab munculnya api. Harus lebih mendalam dan meluas mecakup seluruh aktivitas dan pihak yang berkontribusi di atas. Dari kasus Muara Baru dan Bemoa, harus diperoleh lesson learned yang lengkap.

KKP dan Kemenhub perlu duduk bersama melakukan evaluasi yang menyeluruh dan transparan, melibatkan, terutama, para pemilik kapal, operator kapal serta pengelola pelabuhan. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah pembenahan secara serius dan berdimensi jangka panjang. [JB]