JMOL. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa setiap tanggal 22 September, seperti hari ini, diperingati sebagai Hari Menara Suar. Pada tahun ini, sudah kali ke-5 Indonesia memperingati hari menara suar.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo mrngatakan, memperingati Hari Menara Suar adalah bentuk penghargaan atas peran menara suar dalam keselamatan pelayaran dan perlindungan maritim di seluruh wilayah perairan indonesia.
Menara suar merupakan salah satu Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP). Fungsinya mendukung keselamatan dan keamanan pelayaran serta kelancaran lalu lintas pelayaran. Hingga saat ini, Indonesia tercatat memiliki 284 menara suar. Mayoritas dibangun di masa Hindia Belanda. Selain menara suar, Indonesia memiliki 2.743 rambu suar, 1.184 pelampung suar, 198 rambu siang, 22 Vessel Traffic Services (VTS), 152 Stasiun Radio Pantai dan sejumlah kapal kenavigasian.
Selain sebagai sarana bantu navigasi, menara suar juga memiliki nilai historis dan politik. Menara Suar di daerah-daerah terluar (perbatasan) berfungsi sebagai penanda wilayah Indonesia. Seperti Menara Suar Pulau Breueh (Pulau Beras) di Utara Pulau Weh Aceh yang dibangun pada abad XIX oleh Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menara Suar dengan tinggi 60 meter itu sejak dahulu menjadi penanda pertama bagi kapal yang memasuki wilayah Indonesia dari utara Selat Malaka.
Di selat Sunda ada menara suar cikoneng Anyer. Selain dahulunya menjadi panduan bagi pelaut, menara setinggi 60 meter yang dibangun pada tahun 1806 tersebut menjadi penanda titik nol jalan raya Anyer. Setelah tumbang terkena terjangan tsunami akibat letusan Krakatau pada 1883, Belanda membangun menara suar pengganti pada tahun 1885.
Pada tahun ini, Hari Menara Suar diselenggarakan di menara suar Pantai Tanjung Kalian yang terletak di Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Menara suar dengan tinggi 65 meter ini dibangun pada 1862, dan menjadi menjadi salah satu mercusuar yang paling tua di Indonesia.
Fungsi navigasi Menara Suar tidak sevital di masa lalu. Teknologi radio dan GPS sudah menggantikannya. Namun bangunan-bangunan tua terpencil di tepi pantai itu adalah saksi sejarah kemaritiman Indonesia. Seperti semboyan kenavigasian: Kala Jivam Asti, waktu adalah jiwa! [JB]