Oleh : Bungas T. Fernando Duling *)
Kekerasan kemanusian yang telah terjadi akibat konflik d idunia telah menyebabkan penderitaan bagi rasa kemanusian, tidak sedikit hal tersebut meninggalkan trauma mendalam, kematian, kecacatan serta pertumbuhan generasi tanpa orang tua. Konflik Ukraina, Suriah dan yang terbaru adalah Rohingya serta ketidakpastian konflik Irael-Palastina.
Tercatat Korban tewas dalam perang saudara di Ukraina sejak Apri 2014 telah mencapai lebih dari 6.000 orang, dan lebih dari sejuta orang telah mengungsi sejak konflik dimulai. Menurut badan HAM PBB, sebanyak 633.523 jiwa mengungsi di dalam Ukraina dan 593.622 ke luar Ukraina, sebagian besar ke Rusia dan lebih dari 10.300 lainnya cedera.
Di Suriah sekitar 466.000 orang tewas dan hilang selama 6 tahun masa peperangan di Suriah Pengamat mencatat kematian lebih dari 321.000 orang sejak awal perang tersebut dan lebih dari 145.000 orang dilaporkan hilang, di antara yang tewas terdapat lebih dari 96.000 warga sipil.
Rohingya lebih dari 1.000 orang telah tewas akibat konflik bersenjata di negara bagian Rakhine dan lebih dari 270.000 warga sipil Rohingya melarikan diri ke Banglades. Begitu pula rangkeyan panjang konflik Israel-Palestina 1987 hingga 2017.
Keadaan serta situasi ini tidak menjamin bahwa kekerasan kemanusian akan terhenti pada tahun 2018 dan seterusnya menuju komunitas dunia 2020 (Global Free Trade Area) karena “semangat ekspansif” atas kehendak energi, pangan dan air menjadi media keterlanjutan pasca perang dingin, yang kini terkanalisasi dalam pertarungan dua blok besar, yaitu poros RRC cs dan poros AS cs.
Situasi geopolitik internasional yang terjadi di kawasan Asia Kecil dan Samudra Pasifik menciptakan situasi potensial pergeseran “perang darat menuju perang laut” yaitu pergeseran konflik dari Timur Tengah, Asia Kecil Samadra Pasifik menuju Samudra Hindia. Tersendatnya ambisi Tiongkok Silk Road Economic Belt, baik secara langsung atau tidak, akibat putusan peradilan arbitrase di Den Haag, berpotensi pada kondisi waktu memanasnya wilayah samudra pasifik pada titik Laut Cina Selatan. Tentunya ini berdampak pada ASEAN secara langsung dan membuka peluang konflik pada Laut Cina Timur, Semenanjung Korea serta pergerakan Tibet, Mongolia Dalam dan Xinjiang sebagai wilayah provinsi otonom Tiongkok dan hal ini tidak menutup kemungkinan pada pemanasan yang masif di wilayah Asia Kecil.
Di sisi lain, pernyataan Presiden AS Donald Trump terhadap Yerusalem bukan hanya berdampak pada jalan buntu perdamaian Israel-Palestina, namun juga berpotensi pada reaksi Irak besar, Kashmir, dan Afganistan untuk turut serta “bersekutu” dalam manuver Rusia dan menjauhi watak Amerika Serikat yang berdominan sebagai “Polisi dunia”.
Kekisruhan internal Pemerintahan Amerika Serikat yang berpotensi tidak stabilnya pemerintahan Donald Trump serta “ketidak pastian” kebijakan politik luar negri AS berpotensi pada koreksi “relasi strategis” Jepang dan Korea Selatan kepada Amerika Serikat, dan tidak terlepas dari pertumbuhan kebutuhan energi Jepang dan Korea Selatan yang meningkat dan membutuhkan stabilitas kawasan Samudra Pasifik (Laut Cina Selatan), sebagai jalur pasok bagi lebih dari separuh kebutuhan energi kedua negara tersebut.
Fakta lain yaitu gejala-gejala konjungtur ekonomi dalam perdagangan bebas serta globalisasi menjadi “pelemahan” yang nyata bagi manuver Rusia dan tentu berdampak pada RRC, dimana menuju pelemahan beberapa sektor ekonomi yang berkaitan dengan teknologi tinggi. Sektor Energi, Pangan dan Air sebagai bahan dasar alami menjadi lebih strategis dan menjadikan Asia sebagai wilayah yang strategis.
Disela-sela pergeseran konflik perang darat menuju perang laut, yaitu bergesernya “konflik” Timur Tengah ke Asia Kecil menuju Samudra Pasifik dan Samudra Hindia mendorong tumbuhnya kehendak merdeka pada Kurdi, Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam, serta pada wilayah-wilayah hari ini yang merdeka tapi tidak diakui oleh Negara-negara anggota PBB.
Indo Pasifik
Indo-Pasifik dalam literature wikepedia adalah salah satu wilayah biogeografis bahari di dunia. Kawasan ini meliputi perairan bahari tropika di Samudera Hindia, Samudera Pasifik bagian barat dan tengah, serta laut-laut pedalaman di wilayah Indonesia dan Filipina.
Belakangan, WWC dan TNC terlebih jauh membagi kawasan Indo-Pasifik ke dalam tiga ekozona (ecozones, biogeographical realms), yang seterusnya dibagi ke dalam region biogeografi dan ekoregion. Ketiga ekozona itu adalah Indo-Pasifik bagian barat, tengah, dan timur.
Berdasarkan pembagian tiga wilayah Indo-Pasifik di atas, jika digerakkan dalam geopolitik maka atas nama kemanusian dan secara teori potensial Grant Design Indo-Pasifik adalah jalan perdamaian dunia. Indo-Pasifik sebagai Geopolitik telah diungkapkan Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe pada tahun 2007. Diserukan secara diplomatik oleh Perdana Menteri India Manmohan Singh pada tahun 2010. Dan oleh negara-negara pendukung manifestasi Indonesia KTT IORA tahun 2017: Jepang, Korea Selatan, India, dan Australia..
Indo-Pasifik kaya akan ragam hayati dimana kawasan bahari ini memiliki kekayaan spesies yang terbesar, termasuk di antaranya 3.000 spesies ikan dan 500 spesies terumbu karang. Sebagai pembanding, Atlantik Barat merupakan kawasan bahari yang memiliii kekayaan 1.200 spesies ikan dan hanya sekitar 50 spesies karang.
Kekayaan ragam hayati tertinggi ini terutama ditemukan di ekozona Indo-Pasifik Tengah, yang karena merupakan pertemuan dua samudera, menjadi kaya akan terumbu karang dan mangrove. Di wilayah ini pula terletak Segitiga Karang (Coral Triangle) yang terkenal. Kekayaan ini merupakan sumber pangan, energi/mineral dan air, yang menjadi pokok kebutuhan dunia hari ini dan akan datang, khususnya bagi negara-negara yang berada di dalam dan di sekitar ekozona Indo-Pasifik Tengah.
Indo-Pasifik merupakan kekuatan potensi pasar. Negara-negara di kawasan Samudera Hindia dihuni oleh penduduk hingga 2,7 miliar jiwa, atau sekitar 35 persen dari total penduduk dunia. Selain itu, sekitar sepertiga dari kargo dunia, melewati kawasan ini setiap tahunnya, diantaranya sekitar 100 ribu kapal tanker migas.
Grand Design Indo-Pasifik adalah Jalan Perdamaian Dunia. Peran geopolitik Indonesia pada kawasan Indo-Pasifik seharusnya menjadi rangkaian nyata dalam menjawab perubahan geopolitik pergeseran konflik Timur Tengah ke Asia Kecil menuju Samudra Pasifik dan Samudra Hindia atau pergeseran Perang darat menuju perang laut.
Dimulai dari perumusan Indonesia berada dalam bahaya Perang Modern, Perang Asimetris, Proxy War, Perang Strategi AS cs vs RRC cs, maka memahami 60 tahun Konfrensi Asia Afrika dengan rekomendasi pembentukan poros selatan-selatan, serta menempatkan Bandung sebagai Ibu Kota KAA adalah “investasi” bagi perdamaian dunia. Peran ini berlanjut saat Indonesia menjadi Ketua KTT IORA.
Sebagai kebijakan politik luar negeri Indonesia, Grand Design Indo-Pasifik patut diapresiasi dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia, khususnya komponen intelektual bangsa, baik dalam pemanfaatan ketahanan ekonomi, Ketahanan Kedaulatan Nasional dan ketahanan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Peran strategis Indonesia dalam membangun regional baru kawasan Indo-Pasifik seperti mengulang sejarah peran Indonesia dalam pembentukan gerakan Non Blok melalui KAA Bandung tahun 1955. Secara geopolitik pengulangan sejarah tersebut dapat terlihat dari wilayah dan negara-negara yang menjadi pembatas Indo-Pasifik. Komunitas benua Afrika dan benua Asia menjadi komponen penting bagi terwujudnya Grand Design Indo-Pasifik ini. Benua Afrika dan benua Asia akan berperan menghentikan pergeseran konflik dan arogansi RRC dan AS.
Bagaimana masa depan Grand Design Indo-Pasifik? Menurut penulis, sangat bergantung pada peran Indonesia, India dan Vietnam. **
*) Penulis adalah Sekjen ARUN, Pemerhati Geopolitik
makasih admin infonya sangat membantu sekali, ditunggu artikel selanjutnya
[…] Baca: Grand Design Indo-Pasifik, Jalan Perdamaian Dunia […]